Secara umum, masyarakat adat Lampung terbagi dua, yaitu masyarakat adat Lampung Pepadun dan masyarakat adat Lampung Sebatin.
A.Masyarakat adat Lampung Pepadun
Masyarakat beradat Pepadun terdiri dari:
1. Abung Siwo Mego (Unyai, Unyi, Subing, Uban, Anak Tuha, Kunang, Beliyuk, Selagai, Nyerupa)
Masyarakat Abung mendiami tujuh wilayah adat: Kotabumi, Seputih Timur,
Sukadana, Labuhan Maringgai, Jabung, Gunung Sugih, dan Terbanggi.
2. Mego Pak Tulangbawang (Puyang Umpu, Puyang Bulan, Puyang Aji, Puyang Tegamoan)
Masyarakat Tulangbawang mendiami empat wilayah adat: Menggala, Mesuji, Panaragan, dan Wiralaga.
3. Pubian Telu Suku (Minak Patih Tuha atau Suku Manyarakat, Minak Demang
Lanca atau Suku Tambapupus, Minak Handak, Hulu atau Suku
Bukujadi). Masyarakat Pubian mendiami delapan wilayah adat:
Tanjungkarang, Balau, Bukujadi, Tegineneng, Seputih Barat, Padang
Ratu, Gedungtataan, dan Pugung.Sungkay-WayKanan Buay Lima (Pemuka,
Bahuga, Semenguk, Baradatu, Barasakti, yaitu lima keturunan Raja Tijang
Jungur)
4. Masyarakat Sungkay-WayKanan mendiami sembilan wilayah adat: Negeri Besar, Ketapang, Pakuan Ratu, Sungkay, Bunga
Mayang, Belambangan Umpu, Baradatu, Bahuga, dan Kasui.
B. Masyarakat adat Lampung Sebatin
Masyarakat beradat Sebatin mendiami
sebelas wilayah adat: Kalianda, Teluk Betung, Padang Cermin, Cukuh
Balak, Way Lima, Talang Padang, Kota Agung, Semaka, Belalau, Liwa, dan
Ranau, sebagian daerah komering, sebagian daerah Banten (Ci Koneng), Dan
Lain-lain. Sebatin yang juga dinamai Peminggir karena mereka berada di
pinggir pantai barat dan selatan, terdiri dari:
1. Peminggir Paksi Pak (Buay Belunguh, Buay Pernong, Buay Nyerupa, Buay Lapah di Way)
2. Komering-Kayuagung, yang sekarang termasuk Provinsi Sumatera Selatan
Diperkirakan bahwa yang pertama kali
mendirikan adat Pepadun adalah masyarakat Abung yang ada disekitar abad
ke 17 masehi di zaman seba Banten. Pada abad ke 18 masehi, adat Pepadun
berkembang pula di daerah Way Kanan, Tulang Bawang dan Way Seputih
(Pubian). Kemudian pada permulaan abad ke 19 masehi, adat Pepadun
disempurnakan dengan masyarakat kebuaian inti dan kebuaian-kebuaian
tambahan (gabungan). Bentuk-bentuk penyempurnaan itu melahirkan apa yang
dinamakan Abung Siwou Migou (Abung Siwo Mego), Megou Pak Tulang Bawang
dan Pubian Telu Suku.
Masyarakat yang menganut adat tidak Pepadun, yakni yang melaksanakan
adat musyawarahnya tanpa menggunakan kursi Pepadun. Karena mereka
sebagian besar berdiam di tepi pantai, maka di sebut adat Pesisir. Suku
Lampung beradat Saibatin (Peminggir) secara garis besarnya terdiri atas:
Masyarakat adat Peminggir, Melinting Rajabasa, masyarakat adat
Peminggir Teluk, masyarakat adat Peminggir Semangka, masyarakat adat
Peminggir Skala Brak dan masyarakat adat Peminggir Komering. Masyarakat
adat Peminggir ini sukar untuk diperinci sebagaimana masyarakat Pepadun,
sebab di setiap daerah kebatinan terlalu banyak campuran asal
keturunannya.
Bila di lihat dari penyebaran
masyarakatnya, daerah adat dapat dibedakan bahwa daerah adat Pepadun
berada di antara Kota Tanjungkarang sampai Giham (Belambangan Umpu), Way
Kanan menurut rel kereta api, pantai laut Jawa sampai Bukit Barisan
sebelah barat. Sedangkan daerah adat Peminggir ada di sepanjang pantai
selatan hingga ke barat dan ke utara sampai ke Way Komering.
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ADAT LAMPUNG PESISIR BANDAR LIMA – KECAMATAN CUKUHBALAK
GEOGRAFIS
Di ujung selatan Sumatera, sepanjang
pantainya terjal, diselang-selingi oleh lembah sempit yang dilingkari
bukit-bukit, hijau penuh tanaman: cengkeh, dan beraneka pohon
buah-buahan. Lautnya tenang bagai kaca, bak talam emas yang digelar bila
sore tiba. Bukit-bukit itu nampak biru dari kejauhan. dan di bawah
bukit-bukit itu sungai-sungai yang berliku, jernih airnya, subur
tanahnya.
Di sanalah sekelompok manusia telah
memilih tempat tinggal, hidup dengan anugerah Tuhan yang melimpah, tanah
subur dengan musim buah-buah yang silih berganti. Mereka bercocok tanam
dan bertani. Pada waktu-waktu senggang menanti panen, ada yang
berdagang dan tak sedikit yang menjadi nelayan, memancing dan menjala.
Dan Tuhan tak henti-hentinya mengucurkan rezeki; musim buah berganti
musim cengkeh, lalu menyusul musim-musim: ikan, siput, rebon, udang dan
cumi.
Kampung-kampung itu memanjang dari hilir ke mudik mengikuti lekuk-liku
tepi-tepi sungai berlembah sempit, Kumpulan kampung-kampung itu berupa
marga dan dari beberapa marga terciptalah satu pemerintahan Kecamatan.
Kecamatan ini telah berdiri sejak zaman Belanda “Kecamatan Cukuhbalak”. Batas-batas wilayahnya:
1. Sebelah barat berbatasan dengan Batubalai/wilayah Kecamatan Kotaagung.
2. Sebelah timur dengan Lengkukai/wilayah Kecamatan Padangcermin.
3. Sebelah selatan dengan lautan Indonesia dan sebuah pulau, Pulau Tabuan yang masih termasuk wilayah Kecamatan Cukuhbalak.
4. Sebelah utara dengan Tanjungsiom batas kecamatan Pardasuka.
Wilayah kecamatan yang merupakan daerah marga ini terdiri dari beberapa
kampung. Marga merupakan daerah adat yang dikepalai oleh Kepala Adat
yang menguasai beberapa suku adat (sabatin), Sabatin dikepalai oleh
Penyimbang Batin yang membawahii beberapa kelompok yang lebih kecil
(suku), sedang kampung dikepalai oleh Kepala Kampung selaku pemerintah
Republik Indonesia, di bawah Camat.
Dalam wilayah Kecamatan Cukuhbalak terdiri dari lima 5 Marga:
1. Makhga Putih, sebagai ibukota Kecamatan Cukuhbalak terletak di
Putihdoh. Marga putih terdiri dari 7 kampung: Putihdoh, Tanjungbetuah,
Banjakhmanis, Pampangan, Kacamakhga, Sawangbalak, dan Kakhangbuah.
2. Makhga Pakhtiwi, terdiri dari 10 kampung, yaitu: Sukapadang, Kejadian
Lom/Luah, Gedung, Banjakhnegekhi, Sukakhaja, Tanjungkhaja, Tanjungjati,
Waikhilau dan Tengokh.
3. Makhga Kelumbayan, terdiri dari 7 kampung: Negekhikhatu, Pekonsusuk, Pekonunggak, Penyandingan, Paku, Napal, Lengkukai.
4. Makhga Badak, hanya terdiri dari satu kampung Badak, karena
penduduknya banyak berpindah ke tempat lain (ke Wayawi Kedondong dll).
5. Makhga Limau, terdiri dari 7 kampung, yaitu; Kukhipan, Padangkhatu,
Banjakhagung, Tegineneng, Pekonampai, Antakhbekhak, Tanjungsiom.
Jumlah penduduk wilayah ini dalam sensus
sampai dengan tahun 1978, sekitar 30155 jiwa, terdiri dari 10288 jiwa
laki-laki dewasa, dan 10124 jiwa perempuan dewasa, 4980 anak laki-laki,
dan 4699 anak perempuan. Jumlah kampung sebanyak 32 buah membawahi 75
kepala suku yang terdiri dari 5388 kepala keluarga. Agama penduduk asli
100% beragama Islam.
Catatan: Sejak otonomi daerah digalakkan, beberapa marga dikembangkan
menjadi Kecamatan, sehingga kini telah berdiri: Kecamatan Kelumbayan,
Kecamatan Limau, Kecamatan Pertiwi dan Kecamatan Pulau, dan Kecamatan
Cukuhbalak yang beribukota di Putihdoh.
SEJARAH
Asal-usul penduduk kecamatan Cukuhbalak
serta sejarah berdirinya kampung-kampung di wilayah kebandaran Lima
Kecamatan Cukuhbalak adalah diawali oleh menyebarnya para bangsawan dari
reruntuhan Kerajaan Besar “Skalabkhak” yang terletak di sekitar Liwa
Lampung Utara, terkenal dengan sebutan “Tanohunggak”. Kerajaan
Skalabkhak yang besar di Lampung di samping Kerajaan Talangbawang itu
belum didapat data yang pasti kapan dan bagaimana lenyapnya.
Diperkirakan adalah akibat perluasan Kerajaan Sriwijaya yang
berkedudukan di Palembang.
Bekas-bekas dan pengaruh kerajaan ini masih sangat berkesan di kalangan
penduduk suku Lampung, karena kerajaan ini tidak lenyap begitu saja,
melainkan berganti menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang berbentuk
keratuan (kedatuan) sebagai sumber adat yang masih berlaku sampai
sekarang di daerah Lampung.
Keratuan-keratuan yang terkenal antara lain:
1. Keratuan Puncak, ibukotanya sekitar Sangukpatcak di lingkungan ibukota Skalabkhak.
2. Keratuan Pugung, ibukotanya Pugung Mengandung Sukadana, Lampung
Tengah, Lampung Selatan, dan sampai daerah-daerah sekitar Tanjungtua.
3. Keratuan Balau, ibokotanya terletak di Gunung Jualang di daerah Timur Kota Tanjungkarang.
4. Keratuan Pemanggilan Keratuan ini ibukotanya di sekitar hilir kota
Martapura (sekarang termasuk daerah/wilayah Propinsi Sumatera Selatan).
Keturunannya tersebar di sekitar Sungai Komering (Sumatera Selatan),
Krue, Liwa, dan sekitarnya (Lampung Barat), Teluk Semangka (Tenggamus),
Telukbetung, Kalianda (Lampung Selatan). Meskipun keturunannya tersebar
dan terpencar-pencar namun mempunyai satu rumpun bahasa yaitu bahasa
Lampung Pesisir. sebab itu, ada persamaan antara bahasa Komering dan
bahasa Lampung Pesisir utara di Krue dan sekitarnya serta Lampung
Pesisir selatan di wilayah Lampung Selatan dan sekitarnya.
Dilihat dari sejarahnya, Cukuhbalak
termasuk Keratuan Pemanggilan karena terletak di daerah Teluk Semangka,
begitu juga bahasanya memakai bahasa Lampung Pesisir (Lampung Pesesekh).
Dalam Kecamatan Cukuhbalak terdapat lima Kebandaran terkenal dengan
sebutan “Pesesekhlima” atau “Bandakhlima” karena kebandaran ini
berjumlah Lima dan terletak di pesisir (di pantai lautan).
PENGARUH BUDAYA ISLAM TERHADAP ADAT ISTIADAT DAN TRADISI PADA MASYARAKAT LAMPUNG PESISIR DI MARGA WAY LIMA DAN CUKUH BALAK
1. Adat Ngarak Maju
Dalam
adat perkawinan pada Masyarakat Adat Lampung Pesisir dikenal istilah
“Ngarak Maju”. Ngarak menurut istilah adalah Arak-arakan, sedangkan Maju
adalah Pengantin. Maka “Ngarak Maju” adalah Adat arak-arakan pengantin
Lampung yang dilakukan di tempat pihak pengantin pria, sebagai pertanda
bahwa si pria telah resmi menikahi dengan si wanita (pengantin
perempuan). Dalam tradisi ngarak tersebut unsur yang terpengaruh Budaya
Islam adalah penggunaan alat musik Rabana sebagai alat musik pengiring
arak-arakan dan pelantunan Salawat dan Syair Arab yang dikenal dengan
istilah Zikir Lama dan Zikir Baru. Demikian juga pada saat pengantin
telah tiba di rumah pihak pengantin pria (setelah diarak), maka pihak
keluarga si Pria menyambut rombongan Arakan tersebut dengan melantunkan
Syair Arab “Lail” (ciptaan Imam Maliki).
2. Adat Manjau Pedom
Adat
Manjau Pedom adalah Adat bertamu untuk menginap di rumah pihak wanita
oleh pihak keluarga pria yang dilakukan setelah prosesi ijab kabul. Hal
yang ditekankan dalam Adat Manjau Pedom ini adalah menjalin hubungan
silaturahmi (yang dianjurkan Islam) antara keluarga pihak mempelai,
sehingga terjalin hubungan saudara yang kuat dan saling tolong menolong
antar kedua keluarga.
3. Peraturan Bujang Gadis
Dalam
peraturan bujang gadis dikenal istilah “Cempala Khua Belas”, dimana hal
ini mengatur tentang pergaulan bujang gadis dan barang siapa yang
melanggar aturan Adat tersebut maka akan diberi sangsi. Dalam aturan
tersebut tersurat akan adanya pengaruh hukum Islam yang mengatur
hubungan pria dan wanita yang bukan muhrim, aturan pergaulan hidup
bermasyarakat, serta aturan kesopanan dan kesusilaan.
4. Alat Musik dan Kesenian
Pemakaian alat musik dan kesenian yang terpengaruh Budaya Islam adalah
Alat musik Rabana, Gitar Tunggal, Gitar Gambus dan Piul (Biola). Alat
tersebut digunakan pada saat prosesi adat atau pun pada saat pertunjukan
kesenian pada pesta perkawinan. Sehingga kita kenal hingga saat ini
kesenian Orkes Gambus Lampung yang telah muncul sejak tahun 1970-an.
5. Acara Betamat
“Betamat” berasal dari kata tamat (selesai), tetapi menurut makna adalah
membaca sebagian ayat-ayat Alquran (Juz Amma) pada malam hari yang
biasanya dilakukan pada saat Khitanan dan Perkawinan. Dalam acara
Betamat juga dilakukan pengarakan dari tempat guru ngaji anak-anak atau
bujang gadis yang akan melakukan betamat.
6. Acara Khatam Al-Quraan
Acara Khataman Al-Quraan biasanya
dilakukan oleh beberapa orang (biasanya kaum bapak dan bujang) di rumah
kerabat seseorang yang meninggal, yang biasnya dilakukan (dapat
diselesaikan) selama 7 hari disamping acara Tahlilan. Pada zaman dulu,
Acara Khataman Al-Quraan dilakukan juga pada saat Acara Sebambangan,
yang dilakukan di rumah pihak laki-laki setelah wanita yang dibambangkan
menginap 1 hari di rumah kepala adat. Acara ini dilakukan kira-kira
sampai 3 – 7 hari oleh bujang-gadis, menungggu keluarga pihak wanita
menyusul untuk memberi persetujuan kepada calon mempelai.
7. Acara Marhabanan
Acara
Marhabanan adalah acara syukuran dengan membaca Kitab Bersanzi yang
dilakukan oleh kaum bapak atau bujang dalam memberi nama seorang bayi.
Acara ini dilakukan biasanya pada malam hari di rumah keluarga atau
kakek si bayi. Disamping memberi nama seorang bayi, dilakukan juga
pemberian kenamongan bayi tersebut (Baca: Adat Namong dalam Masyarakat
Adat Way Lima).
8. Tradisi Masyarakat yang lain
Dalam masyarakat banyak tradisi yang masih bertahan dilakukan karena
masih dianggap baik dan tidak bertentangan dengan agama, antara lain:
1) Ruahan bersedekah dengan mengundang
tetangga dekat guna memanjatkan do’a bagi para saudara mu’min dan muslim
yang telah meninggal dunia serta untuk muslimi dan mukminin yang masih
hidup, terutama mendoakan para arwah keluarga si pengundang, karena itu
disebut “ruahan” (berasal dari kata (ruh). Biasanya dalam undangan
tersebut dihidangkan sedikit makanan dan minuman.
2) Tabuh Beduk. Beduk sangat besar
fungsinya bagi kehidupan masyarakat di kampung. Beduk tidak boleh
dibunyikan sembarang waktu, karena akan menimbulkan kericuhan masyarakat
bila dibunyikan tidak sesuai dengan kepentingannya.
Macam-macam tabuh beduk itu antara lain:
a. Tabuh beduk untuk menunjukkan waktu shalat, di bunyikan pada tiap waktu shalat (5 waktu).
b. Tabuh beduk pada waktu shalat Jum’at, di bunyikan 2 x, yaitu jam 11 untuk persiapan, dan 11.30 untuk segera berkumpul.
c. Tabuh beduk untuk menunjukkan waktu
shalat tarawih, khusus bulan Ramadhan, di bunyikan dengan nada khusus,
sekitar jam 7 sampai jam 7.30 malam.
d. Tabuh beduk bulangekh, di bunyikan sehari menjelang bulan Ramadhan.
e. Tabuh beduk menjelang lebaran bulan Romadhon (I’dul Fitri).
“BudayaLampung merupakan perpaduan antara 3 Budaya Dunia yaitu Budaya Cina, Budaya India dan Budaya Arab”
Sumber: iwatbatin.blogspot.com
ATURAN PEMAKAIAN WARNA KEBUNG TIKHAI DAN PERLENGKAPAN ADAT LAINNYA DALAM ADAT ISTIADAT LAMPUNG PESISIR
Dalam adat lampung terutama pesisir atau
saibatin, pemakaian simbol2 warna di atur pada saat tayuhan (pesta)
adat baik saat pengangkatan sebatin, perkawinan atau acara khitanan.
Berikut merupakan peraturan adat yg
harus di laksanakan mengenai pemakaian warna, baik di kebung tikhai
(kain penutup dinding) atau pun kain di langit2 (kawikh), sarung
kasur-bantal, penutup talam, katil dll.
1. WARNA PUTIH, digunakan oleh sebatin.
Jika sebatin melakukan acara tayuhan, maka warna kebung tikhai banyak
menggunakan warna putih dismping warna kuning dan merah. Hal tsbt karena
menunjukan tempat penghejongan/duduk kebumian sebatin2 yg di undang.
Sdkn warna kuning utk para raja jukkuan dan merah utk para khadin dan
minak, dll. Biasanya jg sebatin yg diundang duduk bersama 2 raja
jukkuannya di kebung tikhai putih.
2. WARNA KUNING, digunakan pada acara
tayuhan raja jukkuan dr suatu kesebatinan. Warna kuning di letakan di
ruang depan tamu2 undangan, sedangkan di ruangan dalam tmpt maju duduk
memakai kebung tikhai putih. Yg menandakan hadirnya sebatin dan ratu
dalam acara tsb. Disamping itu, digunakan kebungtikhai warna merah.
3. WARNA MERAH, digunakan oleh radin,
minak dan lain2 pada acara adat lampung. Selain itu penggunaan kebung
tikhai putih tdk digunakan, hanya ada kebung tikhai kuning di ruangan
tengah tempat maju (pengantin) duduk. Hal ini menandakan hadirnya raja
jukkuan di prosesi tsbt, krn merupakan anak buahnya. Sumber: iwatbatin.blogspot.com
12 KEBUAYAN DI LAMPUNG PESISIR BANDAR LIMA (CUKUH BALAK, WAY LIMA & GUNUNG ALIF)
Lampung Pesisir Pemanggilan Bandar Lima
adalah lampung pesisir yang berasal dari 5 kebandaran di cukuhbalak yang
keturunanya menyebar ke wilayah pedalaman yang sekarang meliputi
kecamatan cukuh balak, limau, talang padang, kelumbayan, kelumbayan
barat dan bulok (Tanggamus); pardasuka (Pringsewu); kedondong, way lima,
sebagian gedung tataan, punduh pedada dan padang cermin (Pesawaran).
Nama kebuayan berasal dari kata “buay”
yang artinya keturunan. Maksudnya adalah sebuah kelompok yang berasal
dari satu keturunan (nenek moyang yang sama). Untuk lampung pesisir,
nama buay biasanya identik dengan nama kebiasaan atau peristiwa yang
dulu pernah terjadi di zaman nenek moyangnya, selain nama moyang buay
tersebut. Seperti “buay semenguk”, karena dari cerita nenek moyangnya
yang dulu telah membantu menyelamatkan seekor buaya. “Buay pemuka
peliung”, karena dari cerita nenek moyangnya yang memiliki kebiasaan
membawa priuk (tempat memasak nasi) sehingga dalam bahasa lampung
disebut “peliung/beliuk/khayoh”. “Buay Kemincak”, karena dari cerita
nenek moyangnya yang pandai mendatangkan hujan, seperti ibarat katak
yang suka dengan air, dan cerita buay lainnya.
Menurut beberapa sumber terdapat 12
kebuayan di wilayah bandar lima (cukuhbalak), waylima dan gunung alif yg
berasal dr 5 bandar, yaitu:
1. SEPUTIH, ada 5 buay yg merupakan
keturunan buay semenguk dan buay lain yg masih dalam satu kerabat,
yaitu: BUAY MUKHADATU/MIKHADATU (di waykanan disebut BARADATU), BUAY
TAMBAKUKHA (merupakan saudara tiri paksi pak dari ibu buay
tumi/semenguk), BUAY HULU DALUNG (buay ini masih kerabat buay semenguk
yang berasal dari sungkai bunga mayang), BUAY HULU LUTUNG (saudara dari
buay hulu dalung yang berasal dari komering), BUAY PEMUKA (ada yang
menyebutkan berasal dari pubian menyerakat, tetapi ada yang menyebutkan
dari waykanan yaitu buay pemuka bangsa raja).
2. SEBADAK, berasal dari BUAY TENGKLEK (keturunan BUAY SINDI /MESINDI/BESINDI dan saudara BUAY BINTANG di krui dan di sungkai).
3. SELIMAU, merupakan keturunan 3
saudara keturunan keratuan pugung yaitu kakhai handak, si agul-agul dan
raja bungsu sakti dewa. Dimungkinkan masih kerabat dekat dgn keratuan
BALAU di kedamaian. Terdapat 3 buay yaitu: BUAY TUNGAU, BUAY KHANDAU dan
BUAY BABOK.
4. SEPERTIWI, terdapat satu buay yaitu
BUAY SAKHA. Tidak terdapat keterangan yang pasti, tetapi dimungkinkan
masih saudara BUAY AJI.
5. SEKELUMBAYAN, terdapat 2 buay yaitu:
BUAY BENAWANG (Masih saudara buay semenguk, di liwa disebut BUAY
BETAWANG) dan BUAY GAGILI (Masih keturunan keratuan BALAU di kedamaian,
yg pindah ke penyandingan di wilayah kelumbayan, tetapi ada juga yang
menyatakan berasal dari keturunan BALAU yang dulu masih di skala
bekhak).
Demikianlah nama-nama 12 kebuayan yang
ada di Bandakh Lima, tidak menutup kemungkinan masih ada buay-buay yang
lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu dikarenakan kekurangan
data. Sumber: iwatbatin.blogspot.com
ADAT KEBANDAKHAN LAMPUNG PESISIR
Menurut cerita turun-temurun, nenek
moyang orang Lampung Pesisir/Peminggir berasal dari Lemasa Kepampang
Tanoh Unggak atau lebih dikenal dengan Kerajaan Sekala Bekhak yang
terletak di lereng Gunung Pesagi.
Setelah kerajaan itu runtuh, mereka
menyebar mencari tempat kehidupan yang layak bagi kelangsungan hidup
keturunannya. Tempat yang mereka pilih adalah Muara sungai (Muakha) yang
ada di tepi laut. Disana mereka mendirikan pemukiman baru dan membentuk
sistem pemerintahan adat yang dikenal dengan Bandar (Bandakh).
Dalam sistem pemerintahan adat tersebut
(Sebatin kebandakhan), dibagi dalam beberapa kelompok yaitu Suku Dilom
(Gedung), Suku Kiri, Suku Kanan dan Suku Tanjakh (Tanjakh = Menyebar).
Kepala adat sebatin kebandakhan bergelar Batin/Dalom/Pangeran/Sultan,
tergantung lama berdirinya kesebatinan dan jumlah anak buah (jumlah
sebatin bawahan).
Sebatin tersebut membawahi 4 suku
(Dilom/Gedung, Kiri, Kanan dan Tanjakh) yang diberi gelar Raja (Khaja).
Sedangkan seorang Raja didampingi oleh beberapa Raden (Khadin), Minak,
Kimas dan Mas. Sedangkan untuk berdirinya kesebatinan baru (bawahan
sebatin bandakh) yaitu berasal dari Suku Tanjakh. Suku Tanjakh merupakan
suku yang jenjang permukimannya sudah menyebar kepedalaman (membuka
lahan permukiman baru yang jauh dari pantai). Sehingga jika kita
perhatinkan susunan jenjang permukiman masyarakat Lampung Pesisir akan
berbentuk seperti cabang-cabang pohon yang dimulai dari muara sungai.
Kesebatinan yang berdiri didaerah
pedalaman (jauh dari muara sungai) sebagian besar lebih muda umur
kesebatinannya dari pada kesebatinan bandakh (sebatin bawahan). Mereka
yang dipedalaman tidak lagi dikenal dengan Kesebatinan Bandakh, tetapi
lebih dikenal dengan Kesebatinan Marga. Tetapi seiring berjalannya waktu
pada jaman penjajahan Belanda, nama Kebandakhan sering diganti juga
dengan nama Marga.
Sebagai contoh Kesebatinan Bandakh yaitu
di daerah Cukuh Balak dan sekitarnya, dikenal dengan “Bandakh Lima”
(terdapat 5 kesebatinan Badakh) yang terdiri dari Bandakh Limau, Bandakh
Badak, Bandakh Putihdoh, Bandakh Pertiwi dan Bandakh Kelumbayan.
Sebagian dari keturunannya menyebar ke daerah pedalaman seperti ke
Talang Padang yang dikenal dengan nama “Marga Gunung Alip”; Bulok,
Pardasuka, Kedondong, Way Lima dan Sebagian Gedong Tataan yang dikenal
dengan nama “Kesatuan Adat Marga Way Lima”; dan Marga-marga lain di
Punduh-Pidada dan Padang Cermin. Sehingga sampai saat ini didaerah marga
tersebut dikenal nama Selimau, Sebadak, Seputih, Sepertiwi dan
Sekelumbayan untuk mengingatkan asal usul mereka dari Cukuh Balak.
Sumber: iwatbatin.blogspot.com