Pendidikan
Islam bukanlah sekedar transfer of knowledges atau transfer of values,
tetapi merupakan aktivitas character building (pembentukan karakter,
kepribadian). Tujuannya agar potensi yang dimiliki anak didik (potential
capacity) menjadi kemampuan nyata (actual ability) dan tetap berada
dalam posisi suci bersih (fitrah) dan lurus kepada Allah (hanief).
Untuk mencapai itu, maka seorang guru harus mengajarkan Islam ilmu (yang
berdasarkan dalil), bukan Islam persepsi (yang berdasarkan kira-kira),
secara integrated, dan komprehensif. Integrated meliputi penajaman IQ,EQ
dan SQ. Tujuannya adalah agar anak memiliki kualitas kognitif
(pengetahuan), afektif (keimanan) dan psikomotor (amaliyah) yang lebih baik
dengan target akhir adanya perubahan prilaku (behavior change) yang
lebih baik (taqwa, muttaqin).
Hakikat Pendidikan Al-Islam
Tujuan antara Pendidikan Al-Islam
Materi Pendidikan Al-Islam
Cara Mempelajari Islam
Kedua : Beragama tidak atas dasar mayoritas, sebab mayoritas tidak menjamin orisinalitas. Perlu menjadi catatan penting bahwa kebenaran hanya ditentukan oleh kualitas argumentasi bukan oleh kuantitas penganutnya.
Ketiga: Beragama tidak boleh atas dasar keturunan atau warisan leluhur (QS. 2 :170) :
Keempat : Beragama tidak atas dasar figur (QS.9 :31). :
Azas Filosofis dalam Pendidikan Islam
Kedudukan Akal dalam memahami Al-Islam
PERBEDAAN ANTARA FAHAM DAN ALIRAN
Faham apapun sebenarnya merupakan hasil pemikiran, sedangkan hasil pemikiran sangat tergantung kepada paradigma berfikir yang bersangkutan. Dengan demikian, mengetahui paradigma setiap tokoh pemikir adalah sesuatu yang amat penting.
Secara garis besar corak pemikiran tokoh Islam terbagi dua yakni pemikir Rasional dan Pemikir Tradisional. Apabila ditelusuri jauh ke belakang, akar pemikiran Rasional periode Modern di dunia Islam sebenarnya dipengaruhi oleh pemikiran rasional dari Barat. Walaupun asalnya Barat dipengaruhi pemikiran rasional Islam zaman Klasik. Pemikiran Rasional dibawa oleh para sarjana Barat yang telah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan termasuk filsafat dari universitas Cordova ketika Spanyol dikuasai pemerintahan Islam Bani Umayah di bawah pemerintahan Islam pertama yakni Abd ar-Rahmán ad-Dakhili.
Sejarah Pemikiran di dunia Barat secara kronologis dimulai dengan Masa Yunani Kuno (6 abad sebelum Masehi), Masa Hellenika Romawi (abad 4 SM), Masa Parsitik (abad 2 M), Masa Skolastik (abad 8 M), Masa Rennaissanse ( abad 14-16 M), yang kemudian memasuki masa Aufklaerung (abad 18), atau memasuki periode Modern (abad 19) serta postmodernisme (abad 20).
Pada abad 17 muncul pemikiran falsafah Empirisme atau mazhab Empirisme dengan tokohnya antara lain Francis Bacon (1561-1626), Thomas Hobes (1588-1679), dan John Locke (1632-1704). Kemudian muncul pula mazhab Rasionalisme dengan tokohnya Rene Descartes (1596-1650), dan Spinoza (1632-1677).
Rasionalisme dianggap sebagai tonggak dimulainya pemikiran falsafat yang sebenarnya karena benar-benar menggunakan kemampuan rasio untuk memikirkan sesuatu secara mendalam, tidak terpengaruh oleh doktrin agama dan mitos. Mazhab ini menaruh kepercayaan kepada akal sangat besar sekali. Mereka berkeyakinan bahwa dengan kemampuan akal, pasti manusia dapat menerangkan segala macam persoalan, dan memahami serta memecahkan segala permasalahan manusia.
Dengan kepercayaan kepada akal yang terlampau besar, mereka menentang setiap kepercayaan yang bersifat dogmatis seperti terjadi pada abad Pertengahan, serta menyangkal setiap tata susila yang bersifat tradisi dan terhadap keyakinan atau apa saja yang tidak masuk akal. Aliran filsafat Rasionalisme ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang memadai dan dapat dipercaya adalah akal (rasio). Metode yang digunakan oleh Rasionalisme ini adalah metode deduktif. Rene Descartes (1598-1650) sebagai tokoh rasionalisme, dengan berlandaskan kepada prinsip “a priori” meraguragukan segala macam pernyataan kecuali kepada satu pernyataan saja yaitu kegiatan meraguragukan itu sendiri. Itulah sebabnya ia menyatakan: ”saya berfikir jadi saya ada (Cogito ergo sum).
Sedangkan mazhab Empirisme yang kemudian dikembangkan oleh David Hume (1611-1776), menyatakan bahwa sumber satu-satunya untuk memperoleh pengetahuan adalah pengalaman. Ia menentang kelompok rasionalisme yang berlandaskan kepada prinsip “a pripori:” tetapi mereka menggunakan prinsip “a posteriori”. Untuk menyelesaikan perbedaan antara Rasionalisme dan Empirisme, Iammnuel Kant mengajukan sintesis a pripori. Menurutnya, pengetahuan yang benar adalah yang sintesis a pripori, yakni pengetahuan yang bersumber dari rasio dan empiris yang sekaligus bersifat a pripori dan a posteriori. Immanuel Kant adalah pembawa mazhab Kritisisme atau Rasionalisme Kritis atau lebih dikenal dengan Modernisme. Kemudian pada abad 19 muncul pula Aguste Comte (1798-1857) membawa aliran filsafat Posistivisme yang pada hakikatnya sebagai Empirisme Kritis. Sedangkan aliran filsafat abad 20 atau masa Kontemporer antara lain muncul aliran
Dengan pergumulan dua induk aliran filsafat, yakni Rasionalisme dan Empirisme, maka pada ujungnya para pemikir Barat hanya mengakui dua macam ilmu yakni Empirical science dan Rational Science. Sedangkan di luar itu hanyalah beliefs atau kepercayaan, bukan ilmu. Mazhab pemikiran filsafat yang masuk dan mendominasi para pemikir muslim adalah mazhab Rasionalisme, sehingga para pemikir muslim Rasionalisme sangat memberikan penghargaan yang sangat tinggi kepada akal. Konsekuensinya, mereka menolak semua hadith yang bertentangan dengan akal, sehingga apabila ada hadith bertentangan dengan kesimpulan akal, maka yang dipakai adalah kesimpulan akal. Bahkan ayat-ayat al-Qur’an pun -- apabila secara literal (tekstual) isinya bertentangan dengan akal -- akan ditafsirkan sesuai dengan penerimaan akal melalui penafsiran metaforis.
Para pemikir muslim Rasionalis yang terpengaruh oleh filsafat Barat secara diametral bertentangan dengan para pemikir muslim Tradisionalis yang bersikap sebaliknya, yakni mereka tetap menggunakan hadith Ahad walaupun bertentangan dengan akal bahkan mereka pun berpegang kepada makna hakiki dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an bukan dengan tafsir metaforis sebagaimana diketengahkan oleh para pemikir Rasionalis. Pemikir Tradisionalis banyak menghindari – kalau tidak dikatakan memusuhi -- filsafat Barat. Amin Abdullah yang mengutip pendapat Muhammad ‘Abid al-Jabiry menyatakan bahwa para tokoh Ilmu Kalam banyak yang memusuhi filsafat akibatnya antara filsasat dan Ilmu Kalam tidak ada titik temu. Abid al-Jabiry menyatakan bahwa di lingkungan generasi pertama Ahl as-Sunnah atau juga dengan Asy‘ariyah di mana terdapat tokoh-tokoh seperti al-Ghazali dan asy-Syahrastani (479-549 H), -- sangatlah menentang filsafat dan para ahli filsafat. Bahkan selanjutnya karya al-Ghazali Taháfut al-Falásifah dan karya asy-Syahrastanâ Musá‘arah al-Falásifah merupakan buku “wajib” yang harus diikuti oleh para penulis ilmu Kalam. Perbedaan pendekatan yang digunakan dalam filsafat dan ilmu kalam dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
PERBEDAAN PENDEKATAN YANG DIGUNAKAN DALAM FILSAFAT DAN ILMU KALAM
Walaupun pada periode Pertengahan, filsafat dijauhi, maka mulai abad 18 (Periode Modern) filsafat mulai didekati lagi bahkan dijadikan kerangka berfikir oleh sebahagian pemikir muslim. Masalahnya sekarang adalah – demikian Amin ‘Abdullah – bagaimana kita menyikapi filsafat dan ilmu Kalam lebih luas lagi doktrin agama, apakah mau bersifat Paralel, Linear atau Sirkular ?
Kalau menggunakan pendekatan paralel maka metode berfikir yang digunakan akan berjalan masing-masing, tidak ada titik temu sehingga manfaat yang dicapainya pun akan sangat minim. Kalau menggunakan pendekatan linear maka pada ujungnya akan terjadi kebuntuan. Pola linear akan mengasumsikan bahwa salah satu dari keduanya akan menjadi primadona. Seorang ilmuwan agama akan menepikan masukan dari metode filsafat, karena pendekatan yang ia gunakan dianggap sebagai suat pendekatan yang ideal dan final. Kebuntuan yang dialami oleh pemikir yang menggunakan pendekatan naqli semata adalah kesimpulan yang bersifat dogmatis – teologis, biasanya berujung pada truth claim yang ekslusif yang mencerminkan pola fikir “right or wrong is my caountry” atau juga kebuntuan historis empirik dalam bentuk pandangan yang skeptis, relativistik, dan nihilistik. Atau dapat juga kebuntuan filosofis tergantung kepada jenis tradisi atau aliran filosofis yang disukainya.
Baik pendekatan paralel maupun linear bukan merupakan pilihan yang baik yang dapat memberikan guidance, karena pendekatan paralel akan terhenti dan bertahan pada posisinya sendiri-sendiri dan itulah yang disebut “truth claim”. Sedangkan pendekatan linear yang mengasumsikan adanya finalitas, akan menjebak seseorang atau kelompok ke dalam situasi eksklusif – polemis. Mungkin yang terbaik adalah yang bersifat sirkular, dalam arti karena masing-masing pendekatan memiliki keterbatasan dan kekurangan maka dilakukanlah pendekatan itu secara bersamaan (multi approach) yang di dalamnya saling menutupi kekurangan.
Dalam menyikapi perlu tidaknya pola berfikir filsafat dalam pembahasan teologi dan hukum Islam, para pemikir muslim terbelah dua, yakni Pemikir Tradisional dan Rasional. Pemikir Tradisional kemudian menjadi dua corak yakni Tradisional Literal (Tekstual) dan Tradisional Kontekstual. Pemikir Rasional terbagi dua juga, yakni Rasional Kontekstual dan Rasional – Liberal, sehingga para pemikir Islam dikelompokkan menjadi empat corak.
Itu penilaian subjektif penulis, namun sangat mungkin – sebagaimana dikatakan oleh Charles Kurzman, editor buku “Wacana Islam Liberal” bahwa yang bersangkutan mungkin setuju dan mungkin tidak, dikelompokkan demikian. Juga penting dicatat di sini sebagaimana dijelaskan oleh Azyumardi Azra, pemikiran seorang tokoh tertentu kadang-kadang sangat kompleks tidak bisa lagi dijelaskan dalam satu kerangka atau tipologi tertentu, terjadi tumpang tindih dan bahkan saling silang.
Rasionalitas dalam Beragama
Dalam mempelajari Islam tidak bisa hanya menggunakan pendekatan empirik dan rasio biasa tetapi perlu ada keterlibatan iman. Dalam hal ini paling tidak terdapat empat kategori ilmu yakni :
Pengamalan Al-Islam dengan pendekatan
Beberapa istilah dalam studi Islam
Pertanyaan Renungan :
Hakikat Pendidikan Al-Islam
Pada
hakikatnya Pendidikan Al-Islam adalah proses bimbingan terhadap anak didik
(santri, siswa, mahasiswa) untuk mengembangkan potensi (potential capasity)
yang dimilikinya menjadi kemampuan nyata (actual ability) secara
optimal sehingga tetap dalam kondisi fitrah dan hanief (lurus) sebagaimana
keadaan ketika lahir.
Potensi
yang dimiliki anak didik antara lain Intellegence Quotien (IQ), Emotional
Quotien (EQ) dan Spiritual Quotien (SQ). Juga potensi bertuhan Allah
dan potensi-potensi lainnya.
Tujuan antara Pendidikan Al-Islam
·
Aspek Kognitif: Agar
mahasiswa memahami al-Islam dengan paradigma yang benar (berfikir paradigmais).
·
Asepk Afektif: Agar
anak didik mampu mengapresiasi al-Islam secara mendalam sehingga mereka mampu
mengimani kebenaran al-Islam, mampu memenej emosinya secara benar, dan mampu
mengahayati ajaran al-Islam sehingga dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaannya.
·
Aspek psikomotor :
Mampu mengamalkan al-Islam secara komprehensif, baik dalam Hablum minallah,
hablum minannas, dan hablum minal 'alam.
Sedangkan
tujuan akhir Pendidikan Agama adalah terwujudnya insan yang berperilaku
Al-Qur'an, atau manusia yang sanggup melaksanakan seluruh ayat Al-Qur'an tanpa
kecuali, secara integratif dan komprehensif, baik dalam kehidupan pribadi
maupun dalam bermasyarakat.
Materi Pendidikan Al-Islam
- Materi
Aqidah adalah menanamkan ketauhidan (Tauhid Rubbubiyah, Mulkiyah dan Uluhiyah)
seraya mencabut sikap syirik dengan akar-akarnya melalui analisis
terhadap fenomena alam dan perilaku sosial masyarakat.
-
Aspek Syari’ah adalah
mengajarkan tentang kaifiyat (tatacara, how to do) tentang ritual
(ibadah Mahdlah) dan mu’amalah (ibadah ghair Mahdlah), beserta
falsafahnya sehingga setiap sendi syari'ah terasa mempunyai makna.
-
Materi Akhlak adalah
memberikan pemahaman tentang dimensi- dimensi akhlak yang meliputi hablum
minallah, hablum minannas dan hablum minal ‘alam dengan
parameter yang jelas, terukur, terdeteksi, menekankan pembiasaan dan perlunya
figur sebagai whole model (usawah hasanah).
Cara Mempelajari Islam
Pengetahuan
terbagi dua, yakni pengetahuan yang benar dan pengetahuan yang belum pasti
benar. Pengetahuan yang benar adalah al-ilmu atau al haq, sedangkan
pengetahuan yang salah atau belum pasti benar disebut persepsi. Seorang ustadz,
guru, dosen harus mengajarkan Islam Ilmu bukan Islam Persepsi.
Islam Ilmu adalah Islam yang berdasarkan dalil, bukan karena pendapat,
mayoritas, juga tidak terikat figur atau tradisi nenek moyang. Untuk memperoleh
Islam ilmu, manusia harus menemukan dasar hukum (rujukan) yang jelas, bukan
semata-mata perkiraan pikiran, terikat dengan figur atau terikat dengan
mayoritas.
Lebih
jelasnya sbb :
Pertama
: Dengan ilmu, bukan dengan kira-kira Al-Qur'an QS 17 : 36
:
Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.
Kedua : Beragama tidak atas dasar mayoritas, sebab mayoritas tidak menjamin orisinalitas. Perlu menjadi catatan penting bahwa kebenaran hanya ditentukan oleh kualitas argumentasi bukan oleh kuantitas penganutnya.
Ketiga: Beragama tidak boleh atas dasar keturunan atau warisan leluhur (QS. 2 :170) :
Dan
apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan
Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa
yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah
mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui
suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk (QS. 2 : 170).
Keempat : Beragama tidak atas dasar figur (QS.9 :31). :
Mereka
menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
Allah.
(QS.
6 : 61).
dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan
diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian
kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami,
dan malaikat- Malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya.
Azas Filosofis dalam Pendidikan Islam
Islam
ilmu yang disampaikan dengan pendekatan yang tepat akan mudah dicerna oleh
peserta didik. Oleh karena itu penyajian materi pendidikan Al-Islam harus
sistimtis, rasional, objektif, komprehensif dan radikal.
-
Sistimatis :
Berurutan/runtun, dari mana memulainya, terus ke mana dan bermuara di mana.
-
Rasional:
Gampang difahami, mampu menjelaskan hubungan sebab akibat, sangat merangsang
berfikir, dan tidak dogmatis.
-
Objektif:
Berdasarkan dalil, jelas rujukannya, bukan sekedar kata orang, kira-kira atau
dugaan–dugaan.
-
Komprehensif:
Yakni menganalisis Islam dari berbagai sisi. Dalam hal ini sangat baik
menggunakan multi pendekatan, antara lain Pendekatan Kebahasaan, Kesejarahan,
Teologis., Filosofis, Sosiologis, Politis, Ekonomi, Kesehatan, Militer, dll.
-
Radikal:
Sampai kepada kesimpulan, tajam, menggigit dan sangat menyentuh perasaan dan
nurani.
Kedudukan Akal dalam memahami Al-Islam
Mengenai
penggunaan akal / rasio dalam memahami al-Islam, para tokoh pemikir Islam
berbeda beda corak pemikirannya. Paling tidak ada empat corak :
-
Tokoh Sinkretik:
Sinkretik adalah percampuran antara budaya lokal dengan agama. Tokoh ini sering
tidak peduli kepada dalil dan ratio. Pemikiran mereka lebih didominasi oleh
sikap sosiologis, cari aman.
-
Tokoh
Scripturalis/Tekstualis: terikat dengan teks kurang memperhatikan konteks. Para
tokoh Sripturalis bukan tidak menggunakan ratio tetapi lebih terikat dengan
teks Al-qur’an dan hadith apa adanya.
-
Tokoh Rasional
Kontekstual : Memperhatikan teks dan konteks. Tokoh ini banyak menggunakan argumentasi
rasio di samping melihat teks Al-Qur’an dan hadith.
-
Tokoh Rasional
Liberal : Tidak terikat teks. Analisis terhadap ajaran islam yang dilakukan
tokoh Rasional Liberal lebih didominasi oleh argumentasi akal. Beberapa metode
pendekatannya adalah Tafsir Metaforis, Tafsir Hermenetika dan pendekatan social
kesejarahan. Dari sini kelak lahirlah faham dan aliran keagamaan. Faham dan
aliran adalah dua kata yang seakan-akan bermakna sama karena keduanya menggambarkan
adanya suatu pemikiran yang kemudian jadi anutan bahkan pengamalan sebuah
kelompok atau komunitas tertentu, tetapi sebenarnya kedua kata itu memiliki perbedaan.
Perbedaannya dapat dirinci sebagaimana dijelaskan pada tabel di bawah ini.
PERBEDAAN ANTARA FAHAM DAN ALIRAN
Faham
|
Aliran
|
Kata
faham lebih berkonotasi kepada suatu alur pemikiran
yang
menganut prinsip tertentu.
|
Kata
aliran lebih berkonotasi kepada suatu hasil pemikiran yang eksklusif.
|
Tidak
terorganisir, tidak memiliki pemimpin pusat meskipun ia memiliki tokoh
sentral yang menjadi figur faham tersebut
|
Terorganisir
: ada ketua, pengurus dan anggotanya serta mempunyai aturan-aturan tertentu
|
Biasanya
pengikut suatu faham tertentu adalah orang-orang yang kritis, senang
berfikir, terbuka dan menyambut adanya dialog, walaupun tidak selalu
demikian.
|
Biasanya
para anggotanya tidak dibiarkan berfikir kritis tetapi bersifat taqlâd, dogmatis,
tidak suka dialog, anti kritik dan cenderung merasa benar sendiri (truth
claim).
|
Faham apapun sebenarnya merupakan hasil pemikiran, sedangkan hasil pemikiran sangat tergantung kepada paradigma berfikir yang bersangkutan. Dengan demikian, mengetahui paradigma setiap tokoh pemikir adalah sesuatu yang amat penting.
Secara garis besar corak pemikiran tokoh Islam terbagi dua yakni pemikir Rasional dan Pemikir Tradisional. Apabila ditelusuri jauh ke belakang, akar pemikiran Rasional periode Modern di dunia Islam sebenarnya dipengaruhi oleh pemikiran rasional dari Barat. Walaupun asalnya Barat dipengaruhi pemikiran rasional Islam zaman Klasik. Pemikiran Rasional dibawa oleh para sarjana Barat yang telah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan termasuk filsafat dari universitas Cordova ketika Spanyol dikuasai pemerintahan Islam Bani Umayah di bawah pemerintahan Islam pertama yakni Abd ar-Rahmán ad-Dakhili.
Sejarah Pemikiran di dunia Barat secara kronologis dimulai dengan Masa Yunani Kuno (6 abad sebelum Masehi), Masa Hellenika Romawi (abad 4 SM), Masa Parsitik (abad 2 M), Masa Skolastik (abad 8 M), Masa Rennaissanse ( abad 14-16 M), yang kemudian memasuki masa Aufklaerung (abad 18), atau memasuki periode Modern (abad 19) serta postmodernisme (abad 20).
Pada abad 17 muncul pemikiran falsafah Empirisme atau mazhab Empirisme dengan tokohnya antara lain Francis Bacon (1561-1626), Thomas Hobes (1588-1679), dan John Locke (1632-1704). Kemudian muncul pula mazhab Rasionalisme dengan tokohnya Rene Descartes (1596-1650), dan Spinoza (1632-1677).
Rasionalisme dianggap sebagai tonggak dimulainya pemikiran falsafat yang sebenarnya karena benar-benar menggunakan kemampuan rasio untuk memikirkan sesuatu secara mendalam, tidak terpengaruh oleh doktrin agama dan mitos. Mazhab ini menaruh kepercayaan kepada akal sangat besar sekali. Mereka berkeyakinan bahwa dengan kemampuan akal, pasti manusia dapat menerangkan segala macam persoalan, dan memahami serta memecahkan segala permasalahan manusia.
Dengan kepercayaan kepada akal yang terlampau besar, mereka menentang setiap kepercayaan yang bersifat dogmatis seperti terjadi pada abad Pertengahan, serta menyangkal setiap tata susila yang bersifat tradisi dan terhadap keyakinan atau apa saja yang tidak masuk akal. Aliran filsafat Rasionalisme ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang memadai dan dapat dipercaya adalah akal (rasio). Metode yang digunakan oleh Rasionalisme ini adalah metode deduktif. Rene Descartes (1598-1650) sebagai tokoh rasionalisme, dengan berlandaskan kepada prinsip “a priori” meraguragukan segala macam pernyataan kecuali kepada satu pernyataan saja yaitu kegiatan meraguragukan itu sendiri. Itulah sebabnya ia menyatakan: ”saya berfikir jadi saya ada (Cogito ergo sum).
Sedangkan mazhab Empirisme yang kemudian dikembangkan oleh David Hume (1611-1776), menyatakan bahwa sumber satu-satunya untuk memperoleh pengetahuan adalah pengalaman. Ia menentang kelompok rasionalisme yang berlandaskan kepada prinsip “a pripori:” tetapi mereka menggunakan prinsip “a posteriori”. Untuk menyelesaikan perbedaan antara Rasionalisme dan Empirisme, Iammnuel Kant mengajukan sintesis a pripori. Menurutnya, pengetahuan yang benar adalah yang sintesis a pripori, yakni pengetahuan yang bersumber dari rasio dan empiris yang sekaligus bersifat a pripori dan a posteriori. Immanuel Kant adalah pembawa mazhab Kritisisme atau Rasionalisme Kritis atau lebih dikenal dengan Modernisme. Kemudian pada abad 19 muncul pula Aguste Comte (1798-1857) membawa aliran filsafat Posistivisme yang pada hakikatnya sebagai Empirisme Kritis. Sedangkan aliran filsafat abad 20 atau masa Kontemporer antara lain muncul aliran
filsafat
Eksistensialisme, Strukturalisme, dan Poststrukturalisme, Postmodernisme. Dalam
hal ini penulis tidak perlu membahas seluruh aliran filsafat tersebut karena
persoalannya akan melebar tidak fokus.
Dengan pergumulan dua induk aliran filsafat, yakni Rasionalisme dan Empirisme, maka pada ujungnya para pemikir Barat hanya mengakui dua macam ilmu yakni Empirical science dan Rational Science. Sedangkan di luar itu hanyalah beliefs atau kepercayaan, bukan ilmu. Mazhab pemikiran filsafat yang masuk dan mendominasi para pemikir muslim adalah mazhab Rasionalisme, sehingga para pemikir muslim Rasionalisme sangat memberikan penghargaan yang sangat tinggi kepada akal. Konsekuensinya, mereka menolak semua hadith yang bertentangan dengan akal, sehingga apabila ada hadith bertentangan dengan kesimpulan akal, maka yang dipakai adalah kesimpulan akal. Bahkan ayat-ayat al-Qur’an pun -- apabila secara literal (tekstual) isinya bertentangan dengan akal -- akan ditafsirkan sesuai dengan penerimaan akal melalui penafsiran metaforis.
Para pemikir muslim Rasionalis yang terpengaruh oleh filsafat Barat secara diametral bertentangan dengan para pemikir muslim Tradisionalis yang bersikap sebaliknya, yakni mereka tetap menggunakan hadith Ahad walaupun bertentangan dengan akal bahkan mereka pun berpegang kepada makna hakiki dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an bukan dengan tafsir metaforis sebagaimana diketengahkan oleh para pemikir Rasionalis. Pemikir Tradisionalis banyak menghindari – kalau tidak dikatakan memusuhi -- filsafat Barat. Amin Abdullah yang mengutip pendapat Muhammad ‘Abid al-Jabiry menyatakan bahwa para tokoh Ilmu Kalam banyak yang memusuhi filsafat akibatnya antara filsasat dan Ilmu Kalam tidak ada titik temu. Abid al-Jabiry menyatakan bahwa di lingkungan generasi pertama Ahl as-Sunnah atau juga dengan Asy‘ariyah di mana terdapat tokoh-tokoh seperti al-Ghazali dan asy-Syahrastani (479-549 H), -- sangatlah menentang filsafat dan para ahli filsafat. Bahkan selanjutnya karya al-Ghazali Taháfut al-Falásifah dan karya asy-Syahrastanâ Musá‘arah al-Falásifah merupakan buku “wajib” yang harus diikuti oleh para penulis ilmu Kalam. Perbedaan pendekatan yang digunakan dalam filsafat dan ilmu kalam dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
PERBEDAAN PENDEKATAN YANG DIGUNAKAN DALAM FILSAFAT DAN ILMU KALAM
Filsafat
|
Ilmu
Kalam
|
Lebih
menekankan dimensi keberagaman yang paling dalam esoteris dan transendental.
|
Seringkali
menekankan dimensi lahiriyah eksoteris dan final konkret.
|
Lebih
menekankan ketenangan ke dalam jiwa karena mendapat kepuasan pemikiran.
|
Lebih
menekankan keramaian (syi‘ar) yang bersifat ekspressifkeluar.
|
Lebih
menggarisbawahi comprhension (pemahaman akal).
|
Lebih
menekankan transmission (pemindahan, pewarisan atau yang biasa
disebut naql).
|
Lebih
bercorak prophetic philosophy
|
Lebih
bercorak priestly religion (keulamaan).
|
Lebih
menekankan dimensi being religious.
|
Lebih
menekankan dimensi having a religion.
|
Walaupun pada periode Pertengahan, filsafat dijauhi, maka mulai abad 18 (Periode Modern) filsafat mulai didekati lagi bahkan dijadikan kerangka berfikir oleh sebahagian pemikir muslim. Masalahnya sekarang adalah – demikian Amin ‘Abdullah – bagaimana kita menyikapi filsafat dan ilmu Kalam lebih luas lagi doktrin agama, apakah mau bersifat Paralel, Linear atau Sirkular ?
Kalau menggunakan pendekatan paralel maka metode berfikir yang digunakan akan berjalan masing-masing, tidak ada titik temu sehingga manfaat yang dicapainya pun akan sangat minim. Kalau menggunakan pendekatan linear maka pada ujungnya akan terjadi kebuntuan. Pola linear akan mengasumsikan bahwa salah satu dari keduanya akan menjadi primadona. Seorang ilmuwan agama akan menepikan masukan dari metode filsafat, karena pendekatan yang ia gunakan dianggap sebagai suat pendekatan yang ideal dan final. Kebuntuan yang dialami oleh pemikir yang menggunakan pendekatan naqli semata adalah kesimpulan yang bersifat dogmatis – teologis, biasanya berujung pada truth claim yang ekslusif yang mencerminkan pola fikir “right or wrong is my caountry” atau juga kebuntuan historis empirik dalam bentuk pandangan yang skeptis, relativistik, dan nihilistik. Atau dapat juga kebuntuan filosofis tergantung kepada jenis tradisi atau aliran filosofis yang disukainya.
Baik pendekatan paralel maupun linear bukan merupakan pilihan yang baik yang dapat memberikan guidance, karena pendekatan paralel akan terhenti dan bertahan pada posisinya sendiri-sendiri dan itulah yang disebut “truth claim”. Sedangkan pendekatan linear yang mengasumsikan adanya finalitas, akan menjebak seseorang atau kelompok ke dalam situasi eksklusif – polemis. Mungkin yang terbaik adalah yang bersifat sirkular, dalam arti karena masing-masing pendekatan memiliki keterbatasan dan kekurangan maka dilakukanlah pendekatan itu secara bersamaan (multi approach) yang di dalamnya saling menutupi kekurangan.
Dalam menyikapi perlu tidaknya pola berfikir filsafat dalam pembahasan teologi dan hukum Islam, para pemikir muslim terbelah dua, yakni Pemikir Tradisional dan Rasional. Pemikir Tradisional kemudian menjadi dua corak yakni Tradisional Literal (Tekstual) dan Tradisional Kontekstual. Pemikir Rasional terbagi dua juga, yakni Rasional Kontekstual dan Rasional – Liberal, sehingga para pemikir Islam dikelompokkan menjadi empat corak.
1. Pemikir
Tradisional yang Tekstual (Literal) adalah kelompok pemikir Tradisional yang
memahami Al-Qur’an dan terutama hadith sangat terikat dengan teks tanpa melihat
konteks. Misalnya mereka makan dengan tiga jari sebagaimana hadith nabi, mereka
tidak memakai handuk setelah mandi janabat karena nabi pun demikian, mereka
memakai gamis dan sorban karena nabi pun berpakaian demikian, juga mereka
memelihara jenggot karena nabi memerintahkan memelihara jenggot. Para pemikir
yang berada di lingkungan Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad, Jama’ah
Tagligh, Darul Arqam, merupakan contoh-contoh Pemikir Tradisional yang Literal.
2. Corak
kedua adalah Tradisional yang Kontekstual, yaitu banyak mengacu kepada hasil
Ijtihad Ulama Salaf serta banyak menggunakan hadith Ahad dengan pemahaman dan
pendekatan rasio.
3. Corak
ketiga adalah Pemikir Rasional-Kontekstual, ialah pemikir yang tidak terikat
dengan hal-hal Dhanny, baik hadith Ahad maupun ayat Al-Qur’an yang Dhanny
dalálah-nya. Mereka dengan leluasa menggunakan pendekatan rasio dan
memegang prinsip kausalitas dan kontekstual dengan kaidah “al-hukm yaduru
ma‘a al-‘illat” (Hukum bergantung kepada ‘illat).
4. Corak
keempat adalah Pemikir Rasional yang Liberal, yaitu pemikir yang pemikirannya
sangat bebas merambah hal-hal yang oleh Tradisional dinilai “haram” untuk
dijadikan objek ijtihad. Contoh pemikir tipe Rasional – Liberal ini antara lain
Abdurrahman Wahid (Gusdur) dan Nurcholis Madjid (ini paling tidak menurut
Charles Kurzman dalam bukunya “Wacana Islam Liberal”.
Itu penilaian subjektif penulis, namun sangat mungkin – sebagaimana dikatakan oleh Charles Kurzman, editor buku “Wacana Islam Liberal” bahwa yang bersangkutan mungkin setuju dan mungkin tidak, dikelompokkan demikian. Juga penting dicatat di sini sebagaimana dijelaskan oleh Azyumardi Azra, pemikiran seorang tokoh tertentu kadang-kadang sangat kompleks tidak bisa lagi dijelaskan dalam satu kerangka atau tipologi tertentu, terjadi tumpang tindih dan bahkan saling silang.
Rasionalitas dalam Beragama
Dalam
tataran realita, akal tidak selalu mampu mencari kebenaran karena akal, nalar,
ratio adalah tergantung kepada biologis. Karena akal memiliki keterbatasan maka
perlu bantuan wahyu. Dengan demikian, pada hakikatnya akal dengan wahyu tidak
boleh bertentangan.
Dalam mempelajari Islam tidak bisa hanya menggunakan pendekatan empirik dan rasio biasa tetapi perlu ada keterlibatan iman. Dalam hal ini paling tidak terdapat empat kategori ilmu yakni :
-
Empirical
Science, yakni ukuran benar tidaknya adalah
dibuktikan secara empirik melalui eksperimen. Sumbernya adalah pancaindera, terutama
mata. Mata itu bahasa Arabnya adalah ain, maka disebutlah ainul yaqin.
Yang termasuk ke dalam empirical science antara lain kedokteran, fisika,
kimia, bilogi, goelogi.
-
Rational
Science , ialah ilmu yang kebenarannya ditentukan
oleh hubungan sebab – akibat. Kalau ada hubungan yang logis disebutlah rational.
Sumbernya adalah ratio, maka disebutlah ilmul yaqin. Termasuk ke dalam
katagori ilmu ini antara lain bahasa, filsafat, matematika.
-
Suprarational
Science , ialah manakala kebenarannya ditentukan oleh
hal-hal di luar ratio yang berkembang pada zaman itu. Sumbernya adalah hati
(qalbu), maka disebutlah Haqqul Yaqin. Yang termasuk ke dalam ilmu ini
antara lain Isra Mi'raj, doa, mukjizat.
-
Metarational
Science adalah Ilmu Ghaib, semacam siksa dan
nikmat qubur, syurga neraka, dll. Sumbernya adalah Ruh. Memahami al-Islam
dengan hanya menggunakan katago Empirical science dan Rational
Science akan mengalami kesulitan. Akibatnya ayat-ayat Al-Qur'an yang
dianggap kurang rasional dipaksakan harus rasional, maka terjadilah
rasionalisasi al-Qur'an.
Pengamalan Al-Islam dengan pendekatan
Ø Law Approach yakni pengamalan Islam
sebatas haram – halal, yang penting sah, yang penting tidak haram.
Ø Love Aproach yakni lebih kepada target
sempurna.
Beberapa istilah dalam studi Islam
Terdapat
beberapa terminologi yang peting dipahami dalam memahami Islam yakni Islam
Simbolik dan Islam Substantif, Islam Radikal, Islam Salafi, Islam Kontemporer,
dan Sunni- Syi'ah.
Pertanyaan Renungan :
1.
Apakah anda percaya
bahwa Allahlah yang telah memberikan potensipotensi pada diri anda ? Jawabannya
: Ya, percaya sekali.
2. Apakah anda sadar bahwa otak anda adalah
karunia besar dari Allah ?.
Jawabannya : Ya.
3. Apakah anda meyadari bahwa otak manusia tanpa
bimbingan wahyu Allah akan dapat mengungkap tabir segala hal termasuk persoalan
ghaib ?
Jawabannya : Tidak mungkin.
4. Manfaatkah apabila pendidikan al-Islam tidak
menghasilkan perubahan prilaku ke arah yang lebih baik ?
Jawabannya : sangat tidak berguna, sia-sia.
5. Apakah kebenaran ditentukan oleh suara
mayoritas atau dalil ?
Jawabannya : oleh dalil.
6. Dari mana anda tahu tentang malaikat dan jin,
apakah dari ilmu – ilmu alam atau dari Al-Qur’an ? Jawabannya : Dari Al-Qur’an,
7. Mana yang bisa menjamin keselamatan anda,
mengikuti Islam sebagai ajaran Allah atau mengikuti ajaran hasil karya manusia
?
Jawabannya : Ajaran Islam ciptaan Allah.
8. Mungkinkah Allah sebagai Tuhan Yang Maha Tahu
dan Maha Suci dari kealpaan berbuat salah ?
Jawabannya : Tidak mungkin, mustahil.
9. Kalau begitu, mungkinkah Al-Qur’an yang
diciptakan Allah mengandung kesalahan ? Jawabannya : Tidak mungkin.
10. Kalau otak anda belum memahami pesan
Al-Qur’an, yang salah Al- Qur’annya atau karena otak yang masih bodoh ?
Jawabannya : Otak yang bodoh.
11. Apakah anda mengakui bahwa otak anda tidak
dapat mengetahui segala hal ?
Jawabannya : ya, yakin sekali.
12. Kalau begitu, maukah anda yang masih belum
tahu banyak hal mengikuti pemberitahuan dari Allah melalui al-Qur’annya ?
Jawabannya : ?????
0 komentar:
Posting Komentar