Kaum Muslim di negeri yang mayoritas penduduknya non-Muslim
berteriak. Mereka menerima perlakuan diskriminatif yang akut. Tidak
hanya ditekan secara politik dan ekonomi, mereka mengalami penindasan
secara fisik, bahkan menghadapi genosida secara sistematis.
Anehnya, teriakan mereka tidak mendapat perhatian yang semestinya
dari dunia. Penindasan dan pembantaian yang mereka alami seolah menjadi
angin lalu. Negeri-negeri Muslim pun tak berbuat apa-apa untuk
menyelamatkan mereka. Kaum minoritas Muslim ini harus berjuang sendiri
untuk melangsungkan hidupnya di bawah kungkungan tirani mayoritas
non-Muslim.
Inilah yang terjadi di beberapa negara di kawasan Asia. Nasib buruk
dialami kaum Muslim Rohingya di Myanmar, Muslim Pattani di Thailand,
Muslim Moro di Filipina, Muslim Cham di Kamboja, dan Muslim Uighur di
Xinjiang Cina.
Muslim Rohingya
Nasib tragis dialami minoritas Rohingya yang tinggal di utara Arakan,
tepatnya di negara bagian Rakhine, Myanmar. Sebuah catatan menunjukkan,
lebih dari 6.000 kaum Muslim meninggal dunia akibat kekejaman mayoritas
Budha yang didukung junta militer Myanmar.
Akibat kekejaman itu ribuan Muslim Rohingya terpaksa mengungsi ke
negara yang terdekat, yakni Bangladesh dan Malaysia, bahkan sampai di
Aceh. Mereka yang tidak bisa meninggalkan negara itu harus menerima
perlakuan kejam tentara.
Secara statistik, Muslim Rohingya di Myanmar tercatat sekitar 4,0
persen atau sekitar 1,7 juta jiwa dari total jumlah penduduk negara
tersebut yang mencapai 42,7 juta jiwa. Menurut catatan pada dokumen Images Asia: Report On The Situation For Muslims In Myanmar
pada Mei tahun 1997, jumlah ini menurun drastis. Sebelumnya jumlah kaum
Muslim di sana sekitar 7 juta jiwa. Mereka kebanyakan datang dari India
pada masa kolonial Inggris di Myanmar. Sepeninggal Inggris, gerakan
antikolonialisasi di Myanmar berusaha menyingkirkan orang-orang dari
etnis India itu, termasuk mereka yang memeluk agama Islam.
Tindakan diskriminatif itu terus berlangsung secara sistematis. Pada
tahun 1978 dan 1991, pihak militer Myanmar meluncurkan operasi khusus
untuk melenyapkan pimpinan umat Islam di Arakan sehingga memicu eksodus
besar-besaran kaum Rohingya ke Bangladesh.
Junta militer Myanmar yang dikenal sebagai State Law and Order
Restoration Council (SLORC) selalu berusaha untuk memicu adanya konflik
rasial dan agama. Tujuannya untuk memecah-belah populasi sehingga rezim
tersebut tetap bisa menguasai ranah politik dan ekonomi. Pada 1988,
SLORC memprovokasi terjadinya pergolakan anti-Muslim di Taunggyi dan
Prome. Lalu pada Mei 1996, karya tulis bernada anti-Muslim yang diyakini
ditulis oleh SLORC tersebar di empat kota di negara bagian Shan. Ini
mengakibatkan terjadinya kekerasan terhadap kaum Muslim.
Pada September 1996, SLORC menghancurkan masjid berusia 600 tahun di
negara bagian Arakan dan menggunakan reruntuhannnya untuk mengaspal
jalan yang menghubungkan markas militer baru daerah tersebut. Sepanjang
Februari hingga Maret 1997, SLORC juga memprovokasi terjadinya gerakan
anti-Muslim di negara bagian Karen.
Sejumlah masjid dihancurkan, al-Quran dirobek dan dibakar. Umat Islam
di negara bagian itu terpaksa harus mengungsi. Berdasarkan catatan Myanmar Digest,
pada 2005, muncul perintah bahwa anak-anak Muslim yang lahir di Sittwe,
negara bagian Rakhine (Arakan), tidak boleh mendapatkan akta kelahiran.
Hasilnya, hingga saat ini banyak anak-anak yang tidak mempunyai akta
lahir. Selain itu, National Registration Cards (NRC) atau kartu penduduk
di negara Myanmar sudah tidak diberikan lagi kepada mereka yang memeluk
agama Islam. Mereka yang sangat membutuhkan NRC harus rela mencantumkan
agama Budha pada kolom agama mereka.
Sejak 1982, Undang-undang Kewarganegaraan Myanmar tak mengakui Muslim
Rohingya sebagai warga negara Myanmar. Pemerintah menganggap mereka
sebagai imigran ilegal dari Bangladesh atau keturunannya. Ini pula yang
memicu Muslim Rohingya meninggalkan negara itu.
Kalaupun tak eksodus, mereka seperti terpenjara di tanah kelahiran
mereka. Mereka tidak bisa bebas bepergian ke mana pun, sekalipun ke kota
tetangga di negara tersebut. Junta militer selalu meminta surat resmi.
Walhasil, akibat kekejian junta militer, kini lebih dari 200 ribu
orang tinggal di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh. Mereka hidup
seadanya, sekadar menghindari kekejian di negaranya. Ini masih lumayan,
soalnya nasib lebih buruk dialami ratusan orang lain yang terdampar di
Thailand. Negeri Gajah Putih, tetangga paling dekat dengan Myanmar itu,
menolak untuk menampung mereka.
Muslim Xinjiang, Cina
Nasib tragis terus dialami oleh Muslim Xinjiang, Cina. Ada sekitar
8,5 juta jiwa Muslim di wilayah ini dengan bangunan masjid sebanyak 23
ribu buah. Penduduk Cina sendiri mencapai 1,3 miliar jiwa. Mereka
terus-menerus didera penderitaan luar biasa dan dicap sebagai teroris.
Xinjiang adalah sebuah daerah otonomi—bukan provinsi—di Cina. Nama
lengkapnya adalah Daerah Otonomi Uighur Xinjiang. Wilayah ini berbatasan
dengan Daerah Otonomi Tibet di sebelah selatan dan Provinsi Qinghai
serta Gansu di tenggara. Xinjiang juga berbatasan dengan Mongolia di
sebelah timur, Rusia di utara, serta Kazakstan, Kirgistan, Tajikistan,
Afganistan dan Kashmir di barat.
Penduduk asli Xinjiang berasal dari ras-ras Turki yang beragama
Islam, terutama suku Uighur (45,21 persen) dan suku Kazakh (6,74
persen). Selain itu, di Xinjiang juga terdapat suku Han yang merupakan
suku mayoritas di Cina.
Secara statistik, sebenarnya kaum Muslim Uighur mayoritas di
Xinjiang, tetapi hari demi hari mereka kian terpinggirkan. Istilah
‘daerah otonomi’ yang ditetapkan Pemerintah Cina cuma sekadar nama.
Agama dan budaya mereka ditekan habis-habisan oleh Pemerintah
Cina. Dalam bidang ekonomi, orang-orang dari suku Han-lah yang berkuasa,
termasuk menguasai ladang-ladang minyak dan jalur-jalur perdagangan.
Selain kaya akan mineral, minyak bumi, dan gas—cadangan terbesar di
Cina, Xinjiang sangat penting secara geopolitik. Maka dari itu, demi
mengontrol Xinjiang, berbagai langkah dilakukan Pemerintah Cina,
termasuk membelenggu hak warga Muslim untuk menjalankan ritual dan
ajaran agamanya. Sekadar contoh, keberadaan sekolah Islam, masjid dan
imam dikontrol secara ketat.
Dalam kurun waktu 1995 hingga 1999, pemerintah telah meruntuhkan 70
tempat ibadah serta mencabut surat izin 44 imam. Pemerintah juga
menerapkan larangan ibadah perorangan di tempat-tempat milik negara.
Larangan ini mencakup larangan shalat dan berpuasa pada bulan Ramadhan
di kantor atau sekolah milik negara.
Tekanan yang luar biasa baik dari negara dan suku Han inilah yang
memicu mereka untuk memilih memisahkan diri dari Cina. Rencana itu kian
membuat pemerintah Cina mencengkeram Xinjiang dan menindas kaum Muslim
di sana. Korban-korban berjatuhan dalam beberapa bulan terakhir.
Muslim Pattani, Thailand
Kaum Muslim di Thailand bagian selatan merasa tak kuat lagi berada di
bawah kekuasaan Raja Thailand. Kekejaman dan penderitaan yang mereka
alami selama di bawah pemerintahan Budha menjadikan mereka berniat
memisahkan diri. Berbagai upaya dilakukan, tetapi kandas karena
pemerintah Thailand menghadapinya dengan moncong senapan yang jauh lebih
kuat dan canggih.
Muslim di Thailand berada di tiga provinsi yakni Yala, Pattani, dan
Narathiwat. Jumlah mereka tidak banyak, hanya sekitar 1,8 juta jiwa. Ini
jumlah yang kecil dibandingkan penduduk Thailand yang berjumlah lebih
dari 64 juta jiwa.
Penderitaan yang mereka alami bukan suatu yang baru. Sejak awal kaum
Muslim Pattani ini harus menerima ‘Siamisasi’ di segala bidang. Ini yang
sulit diterima oleh mereka karena budaya yang sangat berbeda. Siamisasi
berarti ‘Budhaisasi’.
Memang, Muslim Pattani sangat berbeda dengan penduduk Thailand pada
umumnya. Pada mulanya Pattani adalah sebuah kerajaan Islam. Mengutip
buku Thailand 2007 yang diterbitkan pemerintah setempat,
Provinsi Pattani bersama dengan Provinsi Songkhla, Yala dan Narathiwat,
keempatnya dijuluki sebagai Pattani Darussalam yang berarti gabungan
dari empat provinsi mayoritas Muslim di selatan Thailand.
Thailand sendiri menguasai negeri Muslim itu pada 1875. Ketika
Inggris menguasai Semenanjung Malaka, terjadilah pembagian kekuasaan.
Wilayah Pattani tetap dikuasai Thailand, sedangkan Perlis dan daerah
yang menjadi negara Malaysia sekarang dikuasai Inggris.
Kerajaan Thailand dalam perkembangannya melakukan tindakan
diskriminasi terhadap mereka. Di antaranya berupa ketidakadilan dalam
segala bidang. Secara ekonomi, perkembangan Pattani jauh tertinggal
dibandingkan dengan wilayah yang mayoritas Budha.
Bahkan secara eksplisit, masyarakat Pattani dibelenggu kebebasannya,
khususnya dengan pemberlakuan undang-undang yang silih berganti mulai
dari darurat militer, darurat sipil hingga UU terorisme.
Hingga saat ini masyarakat Muslim Pattani hidup dalam ketakutan,
mirip suasana Aceh pada masa Daerah Operasi Militer/DOM. Kehidupan
mereka diawasi secara ketat oleh militer Thailand. Kekejaman tentara
Thailand itu tercatat dalam peristiwa pembunuhan massal di Masjid
Kerisek di Pattani dan Tak Bai di wilayah Menara (2004) dan di Masjid
Al-Furqan di wilayah Menara (2009). Hampir 100 orang mati di tangan
tentara saat itu. Itu belum termasuk pemerkosaan yang dialami para gadis
Muslimah dan perusakan generasi muda Muslim dengan narkoba.
Kondisi inilah yang membuat gerakan-gerakan Pembebasan Pattani Darusalam bangkit untuk melakukan perlawanan hingga detik ini.
Muslim Moro, Filipina
Seperti di negara yang mayoritas penduduknya non-Muslim lainnya,
diskriminasi terhadap minoritas Muslim sangat kental oleh negaranya, tak
terkecuali kaum Muslim Moro di Filipina. Di negara yang dulunya pernah
berpenduduk mayoritas Muslim itu, jumlah kaum Muslim tinggal 5-7 juta
jiwa atau 8,5 persen dari penduduk Filipina sebanyak 66 juta jiwa.
Dibandingkan dengan saudara-saudara mereka yang non-Muslim, kaum
Muslim yang banyak berdiam di Pulau Mindanao ini kondisinya jauh
tertinggal. Ini karena pemerintah Filipina menganggap mereka sebagai
pemberontak. Padahal wilayah itu adalah daerah yang paling subur dan
kaya dengan sumber alam di Filipina. Namun fakta menunjukkan, daerah ini
menjadi wilayah paling miskin di negara itu dan tidak ada pembangunan,
setelah konflik yang dimulai sejak empat dekade lalu. Pemerintah
Filipina melarang kaum Muslim memerintah di wilayahnya sendiri dan
mengontrol kekayaan mereka.
Tak aneh jika mereka merasa masih dijajah. Karena itu, tak lama
setelah kemerdekaan, kaum Muslim di sana melakukan perlawanan terhadap
pemerintah. Pemberontakan itu memuncak pada tahun 1970-an. Perlawanan
mereka sebenarnya tak lepas dari sejarah panjang. Sejak zaman penjajahan
Spanyol, kaum Muslim berusaha mengusir penjajah yang kafir tersebut.
Ini terutama dilakukan oleh para sultan yang ada di selatan Filipina.
Sultan-sultan itu tidak bisa ditundukkan oleh Spanyol. Namun, usaha itu
menemui kegagalan. Justru Filipina sebelum dijajah Spanyol masih
mayoritas Muslim, berubah menjadi Katolik, kecuali di bagian selatan.
Tindakan kekejaman dimulai dengan berkuasanya Spanyol. Itu terus
terjadi ketika Amerika menjajah Filipina. Lagi-lagi Muslim jadi sasaran.
Dengan tipudaya, Amerika mencerai-beraikan kaum Muslim Moro dan
menindasnya. Begitu pula ketika Filipina merdeka 1946, pemerintah yang
terbentuk pun melanjutkan kebijakan yang sama, yakni menindas kaum
Muslim.
Muslim Kamboja
Di Kamboja, nasib kaum Muslim sempat mengalami penderitaan yang luar
biasa di bawah rezim Khmer Merah. Kaum Muslim yang jumlahnya sekitar
enam persen dari penduduk Kamboja yang mayoritas Budha harus hidup dalam
tirai besi rezim komunis. Rezim militer itu tercatat melakukan
penganiayaan; pembunuhan, penyiksaan, pengusiran; termasuk juga
penghancuran masjid-masjid dan sekolahan. Kaum Muslim dilarang
mengadakan kegiatan-kegiatan keagamaan.
Selama Khmer Merah berkuasa, lebih dari 500 ribu Muslim dibunuh. Juga
ada pembakaran beberapa masjid, madrasah dan mushaf serta pelarangan
menggunakan bahasa Campa—bahasa kaum Muslim di Kamboja.
Meski Khmer Merah telah jatuh, kondisi kaum Muslim di Kamboja belum
banyak berubah. Mereka tergolong miskin dan mendiami sepanjang Sungai
Mekong. Hanya saja hantu penindasan mulai hilang.
Dunia Bisu
Kendati banyak fakta pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di berbagai
negara yang mayoritas non Muslim itu, dunia tak banyak berbuat. Mereka
hanya mengeluarkan kecaman dan kutukan. Diskusi dan pertemuan hanya
menghasilkan keputusan yang tidak bisa menghentikan tindak kekejian
secara langsung.
Dalam kasus Rohingya, misalnya. Sekretaris Jenderal ASEAN Surin
Pitsuwan menyatakan keprihatinan mendalam atas kekerasan yang terjadi
terhadap umat Muslim Rohingya di Myanmar. Hal yang sama dilakukan oleh
pemerintah Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim
terbesar di dunia. Sekadar basa-basi. Nyatanya banyak penderitaan yang
dialami kaum Muslim dari mulai Pattani, Moro, sampai Rohingya, Indonesia
tak terlihat perannya untuk menyelamatkan saudara-saudara mereka.
Setali tiga uang sikap Organisasi Konferensi Islam (OKI). Seperti
yang sudah-sudah, OKI selalu mengutuk kekejaman terhadap kaum Muslim
tanpa bisa berbuat banyak. Berbagai pertemuan OKI digelar dengan hasil
nol besar. Mereka sekadar menggelar ritual pertemuan untuk menunjukkan
eksistensi organisasi.
Sementara itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sibuk berencana untuk
mengeluarkan resolusi dalam berbagai sidangnya. Tak pernah ada cerita
PBB mengirimkan pasukan untuk mencegah kekejaman yang dialami kaum
Muslim, kecuali ada kepentingan politik di belakangnya. Sebaliknya, PBB
justru ada di balik pembantaian kaum Muslim seperti yang terjadi di
Bosnia Herzegovina.
Sikap PBB ini untuk kesekian kalinya membuktikan adanya standar ganda
Barat terhadap Dunia Islam. Mereka seolah ‘merestui’ pemusnahan kaum
Muslim dari muka bumi. Sebaliknya, begitu ada pelanggaran terhadap kaum
non-Muslim—khususnya Kristen/Katolik—organisasi itu sangat sigap.
Maka dari itu, tak pernah ada cerita soal pasukan perdamaian yang
melindungi warga Moro, warga Pattani, warga Xinjiang, warga Palestina
dan warga Muslim lainnya di seluruh dunia. Inilah fakta kaum Muslim,
tertindas di negerinya dan juga ditindas secara tidak langsung oleh
konspirasi global dunia. [Humaidi]
sumber: majalah al-wa’ie