Perayaan malam tahun baru boleh jadi merupakan hari pesta sedunia, jutaan orang di seluruh penjuru dunia, termasuk di Indonesia, tumpah ke jalan-jalan atau di tempat-tempat hiburan merayakan pergantian tahun . Di tempat-tempat itu mereka meluapkan kegembiraan seakan-akan baru saja memenangi sebuah pertandingan yang maha berat.
Bagi orang modern,
termasuk masyarakat di Indonesia, perayaan tahun baru mungkin hanyalah
sebagai suatu momen untuk berpesta dan berhura-hura. Setelah sibuk
sepanjang tahun , orang-orang merasa bahwa berpesta pora pada malam
pergantian baru merupakan sesuatu yang wajar untuk melepas kepenatan.
Namun, jika menilik sejarah, perayaan tahun baru tidaklah sekadar pesta
biasa, tetapi sarat dengan berbagai tradisi keagamaan seperti kaum
pagan, Kristen, dan juga Yahudi.
Sebelum berlakunya kalender
Gregorian, bangsa Eropa di abad pertengahan umumnya menjadikan tanggal
25 Maret sebagai awal tahun baru . Mereka. menyebut hari ini The Feast
of Armounciarion, "Hari Raya Pemberitahuan". Di dalam tradisi Kristen,
tanggal ini dipercaya sebagai hari saat Bunda Maria didatangi Jibril
yang memberitahukannya bahwa ia akan melahirkan seorang anak Tuhan.
Setelah diperkenalkan kalender Gregorian pada tahun 1582, secara
bertahap kerajaan-kerajaan di Eropa merayakan tahun baru setiap tanggal
satu Januari. Kalender Gregorian ini disebut juga kalender Kristen
karena menjadikan kelahiran Yesus sebagai tanggal pertama dari kalender
tersebut. Meski demikian, kapan persisnya kelahiran Yesus masih menjadi
perdebatan di kalangan umat Kristiani. Namun yang jelas, pembuatan
kalender ini terkait dengan kepentingan religius di dalam agama Kristen.
Sebagai contoh, penetapan hari Minggu (Sunday) sebagai hari libur. Hari
ini merupakan hari khusus untuk berkhidmat kepada Tuhan dalam tradisi
Kristen, menggantikan hari Sabtu yang lazim dalam tradisi Yahudi.
Salah satu hal yang unik menjelang datangnya malam tahun baru adalah
menjamurnya penjualan terompet . Hal ini terkait dengan kesenangan orang
merayakan malam tahun baru dengan membunyikan terompet sekeras mungkin
untuk memeriahkan suasana. Kebisingan suara terompet ini mencapai
puncaknya pada pukul dua puluh empat, atau tepat tengah malam.
Tradisi meniup terompet ini pada mula nya merupakan cara orang-orang
kuno untuk mengusir setan. Orang-orang Yahudi belakangan melakukan hal
itu sebagai kegiatanritual yang dimaknai sebagai gambaran ketika Tuhan
menghancurkan dunia. Mereka melakukan ritual meniup terompet ini pada
waktu perayaan tahun baru Yahudi, Rosh Hashanah, yang berarti "Hari Raya
Terompet", yang biasa jatuh pada bulan September atau Oktober. Bentuk
terompet yang melengkung melambangkan tanduk domba yang dikorbankan
dalam peristiwa pengorbanan Isaac (Nabi Ishaq dalam tradisi Muslim). Hal
ini sangat berbeda dengan ajaran Islam yang menetapkan bahwa Nabi
Ismail-lah, saudara Nabi Ishaq, yang diminta Allah untuk dikorbankan.
Bunyi terompet yang bersahut-sahutan biasanya belum lengkap jika tidak
diikuti dengan pesta petasan dan kembang api. Sebagaimana membunyikan
trompet, tradisi ini merupakan ritual untuk mengusir setan di dalam
tradisi bangsa Cina. Selain itu, petasan juga dipercaya dapat
mendatangkan keberuntungan.
Tidak seperti tradisi dalam agama dan
kebudayaan lain, Islam tidak pernah menjadikan tahun baru sebagai
sebuah hari raya, termasuk tahun baru Hijriah sekalipun. Meski di
Indonesia, tahun baru Hijriah merupakan hari libur nasional, tetapi
kedudukannya tetaplah bukan hari raya. Jika Islam sendiri tidak pernah
merayakan tahun baru , maka mengapa umat Islam turut pula merayakan
perayaan yang sebenarnya merupakan tradisi agama-agama lain? Bukankah
Nabi saw. telah mengingatkan bahwa mereka yang ikut-ikut tradisi suatu
kaum, maka ia termasuk dalam golongan kaum itu?
RENUNGKANLAH.....
RENUNGKANLAH.....
0 komentar:
Posting Komentar