Yusuf Jabung
Home » » Riwayat Hidup Nabi Muhammad SAW

Riwayat Hidup Nabi Muhammad SAW

Sebelum kita memasuki kajian tindak langkah Muhammad Rosulullah, terlebih dahulu kita kenali pribadi Muhammad sebelum ia ditetapkan  sebagai  nabi  dan rasul. Hal ini penting untuk diketahui jika kita ingin dijadikan oleh Allah sebagai pimpinan dari orang-orang yang bertaqwa. Sebagaimana doa kita, waj’alna lil muttaqinna imama , dan jadikanlah aku pemimpin dari orang-orang yang bertaqwa .

Secara biologis, Muhammad adalah keturunan dari para pejuang Islam, yaitu Adnan, salah satu dari keturunan Ismail anak Ibrahim. Adnan kemudian melahirkan keturunan yang singkatnya sampai pada Abdul Mutholib, kakek beliau, pimpinan suku Quraisy yang disegani. Salah seorang putra Abdul Mutholib adalah Abdullah yang menikah dengan Aminah, juga warga Quraisy. Karena kedua orang tua beliau wafat tatkala beliau masih kecil, perlindungan  dan pendidikannya diambil alih oleh Abdul Mutholib,  dan tatkala kakek beliau wafat, putera Abdul Mutholib, yaitu Abu Tholib lah yang membesarkan Muhammad. Berkat pendidikan pamannya, Muhammad tumbuh menjadi pemuda idaman bagi suku Quraisy, baik dari segi fisik maupun kepribadiannya. Karir Muhammad dalam  bidang politik cukup menarik. Pada umur  enam belas tahun beliau sudah masuk dinas militer  dan ikut dalam  perang fijar, yaitu perang antara Qobilah Quraisy  dan Kinanah di satu pihak, melawan suku Qois di pihak lain. Perang ini berlangsung selama empat tahun  dan berakhir dengan perdamaian.

Akibat perang fijar ini, ketahanan suku Quraisy menjadi rapuh, di dalam  negeri terjadi perebutan kekuasaan. Keadaan ini menyebabkan kekuasaan yang ada di luar Mekkah kurang menghormati kedaulatan negara Mekkah.

Atas inisiatif beberapa orang eksponen Quraisy, diadakan rujukan nasional  dan hasilnya berupa konsensus nasional dalam bentuk undang-undang dasar baru, yang mengatur negara Mekkah. Muhammad Bin Abdullah berperan aktif dalam  konsensus nasional tersebut  dan beliau di tunjuk sebagai salah seorang anggota dewan. Organisasi yang beranggotakan pimpinan suku dari bangsa arab itu dinamakan  Hilful Fudhul . Dasar dari organisasi itu adalah kebangsaan, dengan tidak membeda-bedakan suku, agama maupun ras. Cara mereka mengambil keputusan di dalam  menyelesaikan masalah yang timbul dilakukan dengan prinsip musyawarah dalam  suatu dewan yang bersidang pada suatu tempat yang disebut dengan  Darun Nadwah . Melihat cara-cara yang ditempuh bangsa Quraisy dalam  pemerintahan, tampak jelas bahwa prinsip demokrasi bukan barang baru bagi bangsa Arab (Al Arob).

Umur Muhammad pada waktu itu adalah dua puluh tahun, kemudian beliau menikah dengan Khodijah pada umur dua puluh lima tahun. Tampaknya, karir  sebagai  anggota Darun Nadwah berlangsung terus sampai menjelang umur empat puluh tahun. Pada umur tiga puluh lima tahun beliau masih aktif menangani masalah yang timbul dalam  pemerintahan Darun Nadwah. Yang terakhir beliau di percayakan untuk menangani kasus  Hajar Aswad .

Akibat banjir yang menimpa kota Mekkah, Ka’bah yang memang letaknya di dataran rendah (bakah) tergenang air dan Baitullah hampir roboh. Pemerintah Mekkah di bawah pimpinan Walid Bin Mughiroh memimpin rehabilitasi tersebut. Tatkala bangunan sudah selesai, tinggal mengembalikan  batu hitam  yang merupakan prasasti itu, timbul perselisihan di antara pemimpin suku-suku yang tergabung dalam Hilful Fudhul, siapa yang paling layak meletakkan batu hitam itu ke tempat semula. Selama lima hari musyawarah itu berlangsung, tidak di peroleh keputusan. Akhirnya Walid Bin Mughiroh mengusulkan bahwa orang yang paling awal masuk Masjidil Haram untuk melakukan sholat subuh, dialah yang akan ditetapkan sebagai hakim yang akan memutuskan perkara mereka. Apa yang menjadi dasar pertimbangan usulan seperti itu tidak dijelaskan, tetapi sasaran yang dituju oleh usul itu sudah dapat di duga, yaitu Muhammad bin Abdullah, pemuda cerdas berakhlaq mulia  dan paling rajin melaksanakan sholat di masjidil haram.

Keesokan harinya memang sebagaimana biasanya, Muhammad lah yang masuk terlebih dahulu dari pintu yang sudah di tetapkan panitia pembangunan. Dengan amat bijaksana Muhammad menunjukkan dirinya sebagai demokrat yang dijiwai oleh semangat persatuan  dan kesatuan bangsa. Dia meletakkan batu hitam itu di tengah sehelai kain yang secara bersama-sama di bawa ke tempat aslinya. Dan tatkala sudah sampai lokasi, Muhammad mengambil batu itu seorang diri  dan meletakannya ke tempat semula. Setelah itu, Muhammad pergi meninggalkan mereka yang sedang terperangah oleh kebijaksanaan yang sederhana tapi penuh arti. Peristiwa itu menambah kepercayaan bangsa Quraisy  dan suku-suku lainnya pada Muhammad sebagai orang yang dapat dipercaya atau Al Amin. Peristiwa ini bukan merupakan peristiwa kebetulan, semuanya memang terjadi karena qodrat  dan irodah Allah Swt.

Seorang calon pemimpin yang akan mengemban risAllah Allah, yaitu Islam yang harus memiliki sifat-sifat yang terpuji menurut ukuran manusia pada umumnya, yaitu shidiq, tabligh, amanah, fathonah. Sifat-sifat  ini merupakan modal besar bagi seorang mujahidin.

Dari sejak kecil ia melihat kehidupan masyarakat Mekkah yang agamis, bahkan dirinya pun produk dari lingkungan yang agamis, terutama didikan kakek  dan pamannya yang merupakan pimpinan dari masyarakat agamis, yaitu Islam warisan Ibrohim. Akan tetapi baik Islam warisan nabi Ibrohim  dan kaum Yahudi warisan nabi Musa  dan golongan Nashrani  warisan nabi Isa satu sama lain saling menghujat. Setiap hari Muhammad melakukan sholat di Masjidil Haram bersama dengan masyarakat, tetapi di luar itu kehidupan mereka terpecah belah dalam kelompok /golongan-golongan/partai-partai. Di tangan mereka ada kitab Allah, golongan Quraisy mempunyai  shuhuf , Yahudi mempunyai  Taurot   dan Nashrani mempunyai  Injil , semuanya berinduk pada nabi Ibrohim,  dan nabi Ibrohim mendapat wahyu itu dari Allah. Tetapi mengapa mereka  satu  sama lain saling bermusuhan  dan mempunyai hukum-hukum sendiri ?

Muhammad yang manusia biasa seperti kita berusaha dengan  kemampuan yang ada padanya untuk menyatukan bangsanya. Ia ingin melihat bangsanya hidup rukun  dan damai dalam   satu  masyarakat yang pluralistik atas dasar persamaan hak  dan prinsip saling membela  dan menolong sesama warganya. Ia ikut dalam  perang Fijar  dan menjadi anggota organisasi politik kebangsaan Hilful Fudhul tetapi dalam kenyataannya budaya jahiliyah mereka tidak pernah hilang. Persaingan politik antara pimpinan suku  dan golongan tidak pernah reda, sikap tamak  dan rakus semakin menjadi-jadi, pemerasan  dan pemaksaan kelompok yang kuat atas dhuafa terus berjalan, judi, alkohol, pelacuran, serta pemerkosaan semakin menjadi. Muhammad  sebagai  warga bangsa ingin menyatukan qolbu manusia yang berbeda itu. Dan untuk itulah ia duduk  sebagai  anggota Darun Nadwah, suatu lembaga permusyawaratan rakyat bangsa arab, pembuat undang-undang. Tetapi Muhammad melihat lembaga tersebut hanya di gunakan untuk kepentingan penguasa mekkah, bukan untuk mentegakkan hukum-hukum Ad-Dien sebagaimana tersebut dalam  kitab suci yang ada.

Pada saat beliau membawa dagangan khodijah ke luar negri, ia pun menyaksikan dunia yang sama. Walaupun orang-orang Yahudi  dan Nashrani menyatakan bahwa mereka pembawa misi Allah, namun dalam  kenyataannya mereka lebih sudi menjadi budak jajahan Romawi  dan Persia. Semua itu membuat Muhammad apatis dengan  segala bentuk aktifitas politik mekkah. Ia lebih senang hidup menyendiri atau pergi ke gunung, mungkin hanya dengan  bertanya pada bintang-bintang di langit atau pada gunung-gunung batu, ia akan mendapatkan jawaban dari segala masalah kehidupan yang ada.

Dalam kondisi kebingungannya itu, datanglah malaikat Jibril yang meminta kepadanya untuk meng-iqro’ keadaan yang demikian itu. Pertanyaan itu langsung di jawab aku tidak sanggup membaca . Muhammad adalah orang yang -ummi- terhadap kitab Allah, oleh sebab itu dia tidak bisa membedakan mana Haq  dan mana Bathil. Jika dikatakan masyarakat Mekkah  dan masyarakat dunia itu bathil, pada kenyataannya mereka adalah orang-orang  yang percaya pada Tuhan, percaya pada kitabullah, mengerjakan sholat, zakat  dan juga melaksanakan ibadah haji. Jika ingin di katakan haq pada hakikatnya mereka lebih suka tunduk pada ideologi manusia daripada kitab Allah. Ad-dien hanya di tempatkan  sebagai  kegiatan spiritual yang sifatnya sebatas pribadi, sedang di dalam  kehidupan dunia yang di jadikan landasan adalah konsensus bersama, tanpa memperhatikan hukum-hukum  Ad-Dien yang mereka anut. Di sisi lain Muhammad melihat kegiatan para robbaniyun, yaitu pemimpin keagamaan baik Yahudi, Nashrani, maupun Millata Ibrohim, tetapi mereka nilainya tidak kurang lebih dari tukang stempel legitimasi kekuasaan.

Karena sampai tiga kali Muhammad belum mampu membaca jalan keluar daripada kondisi kehidupan ummat manusia yang demikian, maka jibril mengajarkan jawabannya yaitu dengan   Isme Robb kamu. Artinya hanya dengan  Isme Robb kamu dapat mengenal mana yang haq  dan bathil.  Dimaksud dengan  Isme Robb kamu adalah Asmaul Husna. Asmaul Husna adalah ismun (nama,sifat) atau akhlaq Allah,hanya dengan  akhlaq Allah yang demikian, kehidupan seluruh alam menjadi  mizan (setimbang)  yang penuh dengan  keadilan, keselamatan,  dan kesejahteraan.

Setelah nabi membaca dengan  isme Allah yang demikian terhadap masyarakat dunia  dan masyarakat bangsanya, ia sangat terkejut. Terkejut karena penilaiannya selama ini terhadap bangsa  dan negaranya serta dirinya, sangat berbeda dengan  penilaian Allah. Setelah nabi membaca budaya bangsa  dan negaranya dengan  Al-Quran barulah nabi dapat mem-furqon atau membedakan mana haq  dan mana bathil. Jika al-haq menyatakan hanya Allah saja yang haq untuk di jadikan Robb oleh manusia, ternyata dalam  kehidupan bangsanya setiap pemimpin dari golongan-golongan yang ada bertindak  sebagai  robb. Kata robb menurut syari’at berarti pengatur dengan  aturan. Setiap lembaga atau pemimpin yang membuat aturan atau undang-undang (al-hukmu) untuk mengatur urusan manusia berarti ia telah menempatkan dirinya  sebagai  pengatur (robb).
Tindakan membuat aturan atau hukum yang seperti itu, bukan sunnah rosul tetapi sebaliknya, sunnah fir’aun.

Suatu lembaga atau perorangan yang membuat peraturan undang-undang untuk ditaati oleh masyarakat dilakukan karena memiliki kekuasaan (penguasa). Menurut Islam, di dunia ini tidak boleh ada penguasa yang menguasai manusia  sebagai  makhluk milik Allah. Tindakan ini adalah tindakan menyaingi atau mensyarikati Allah. Dalam hal yang demikian inilah Allah menggunakan istilah -musyrik-. Oleh sebab itu , barang siapa yang mendirikan kekuasaan tidak melalui prosedur yang di ridhoi Allah yaitu Al Quran Sunnah, maka kekuasaan itu disebut kekuasaan musyrikin. Daulah Mekkah dengan  para pemimpinnya semodel Abu Jahal, Abu Lahab, Abu Sofyan, adalah tipe dari kekuasaan yang seperti itu. Selanjutnya Allah menciptakan ummat manusia tidak lain bertujuan agar manusia mengabdi hanya kepada Nya. Istilah mengabdi di sini adalah dalam  arti  itho’ah  atau taat kepada undang-undang Allah yaitu Al Quran Sunnah.

Suatu lembaga atau pemimpin yang membuat peraturan perundang-undangan atas dasar kekuasaan yang di milikinya, kedudukannya sama dengan  ilah, yaitu sesuatu yang di puja, disembah , diibadati. Fir’aun menyatakan dirinya ilah bukan berarti dia mengaku dirinya tuhan, tetapi hal itu dinyatakan dalam  hubungannya  sebagai  penguasa tertinggi mesir. Sunnah fir’aun identik dengan  perilaku kekuasaan di mekkah. Para pemimpin mekkah merupakan ilah-ilah kecil bagi bangsa arab pada waktu itu. Di dunia ini menurut aqidah Al Quran Sunnah, tidak boleh ada perilaku seperti demikian, baik yang di sembah maupun masyarakat yang mengabdi atau menyembahnya sama saja. Itulah esensi kemusyrikan.

Setelah Muhammad diangkat menjadi nabi (pembawa berita dari Allah) atau rosul (pembawa risalah dari Allah), ia diperintahkan menyampaikan itu pada orang lain. Di bawah bimbingan Allah, baik secara langsung atau melalui jibril atau secara tidak langsung (min waro’il hijab). Di bawah bimbingan Allah, ayat-ayat Al Quran itu di sampaikan ayat demi ayat secara sistematis sesuai dengan  fase perjalanan da’wah atau jihad itu. Setiap ayat berupa perintah  dan larangan maka sikap nabi bersama2 dengan  orang-orang  yang telah beriman lainnya adalah  sami’na wa atho’na  kami dengar dan kami taat ( Qs. 2 : 285).

Inti dari ajaran Islam adalah dunia nilai, yaitu ukuran haq  dan bathil, benar  dan salah, baik  dan buruk.  al-haqqu min robbika, falaa takunanna minal mumtarin ,haq atau kebenaran itu dari robb kamu (Al Quran), maka janganlah kamu menjadi orang yang ragu terhadap Al Quran itu. Masalah baik  dan buruk, benar  dan salah, haq  dan bathil merupakan masalah kwalitatif yang sifatnya emosional, subyektif  dan kondisional. Oleh sebab itu Allah menurunkan timbangan (miqdar) yang harus di jadikan qodar untuk tolak ukur manusia. Inilah merupakan rahmat yang terbesar dari Allah kepada manusia yang tidak sempurna ini. Sebagian besar manusia lebih senang menyembah kepada berhala bikinannya sendiri, kepada hasil pemikirannya sendiri, apalagi hasil hasil gagasannya itu mendapat dukungan orang banyak, jika gagasannya itu mendapat dukungan mayoritas manusia, anak berhala yang semula kecil yang ada di dalam  qolbu si pencetus gagasan itu, berubah menjadi berhala besar yang di simbolkan dengan  berbagai atribut kebenaran oleh suatu kaum atau bangsa.

Orang-orang  Mekkah memiliki ideologi bersama yang menjadi pujaan mereka,  dan simbol-simbol kebenaran, keselamatan, keadilan, kesejahteraan, berbentuk atribut latta, uzza, manaat, hubal, nasr. Yang mereka sembah sesungguhnya bukan atribut fisik dalam bentuk patung namun yang mereka -akbar-kan adalah isme-isme yang terkandung di balik atribut itu.  sebagai  contoh ka’bah  sebagai  simbol atau atribut Islam. Setiap sholat atau haji, jutaan ummat Islam mengarah ke sana, bahkan di sunnahkan untuk menciumnya. Kita  sebagai  umat Islam menolak jika dikatakan menyembah Ka’bah atau batu hitam itu, yang kita sembah bukan rumah atau batu hitam itu. Itu semua adalah simbol bagi manusia yang berserah diri kpada Allah,  dan ketetapan untuk menjadikan Ka’bah  sebagai  kiblat itu adalah perintah Allah, bukan ciptaan nabi Adam atau nabi Ibrohim.

Pengertian thogut Qs. 4:60, bukan berarti patung, dilihat dari salah  satu ayat pada  surat Al-Alaq, manyatakan  arro-a-hus taghna , kata taghna berasal dari kata ghoyya yang maknanya cukup atau ghonni yang artinya kaya. Dalam hal ini manusia melihat dirinya sudah merasa kaya atau cukup. Manusia semula adalah unsur  thurob yaitu unsur-unsur tanah yang kemudian menjadi bentuk tumbuhan, hewan  dan air. Zat-zat tersebut dimakan oleh manusia,  dan di dalam  tubuh sebagian dari zat2 tanah di ubah menjadi sel-sel (shulalah), dari sel-sel tersebut dimutasi menjadi sperma (nuthfah) di tempat khusus yang terlindungi, nuthfah di pancarkan pada ovum wanita,  dan di sana nuthfah tersebut tumbuh menjadi alaqoh (perpaduan nuthfah  dan ovum wanita) kemudian membelah diri  dan berkembang menjadi embrio (mudghoh), dari sini berkembanglah tulang-tulang (izhoman) yang kemudian di balut oleh daging (lahman), setelah masanya dikeluarkan menjadi thiflan atau bayi (kholqon akhor).

Secara biologis manusia itu adalah makhluk yang berkembang menuju terciptanya manusia insan kamil yaitu manusia yang berakhlak Al Quran.  Jika manusia karena intelektualnya sudah merasa cukup  dan tidak memerlukan apa-apa  lagi dari Robb-nya, berarti dia telah memutuskan silah dengan  Robb-nya. Sikap seperti ini disebut thogho, yaitu takabur atau sombong karena sudah menjadi makhluk yang mampu berpikir. Kemampuan berpikir bukanlah akhir dari proses perkembangan jiwa manusia. Tujuan akhir menurut program Allah adalah hamba-Nya yaitu manusia yang mengabdi kepada ma’bud nya, yaitu Allah. Fir’aun termasuk orang yang dicap oleh Allah  sebagai  thogho (idzhab ila fir’auna innahu thogho). Jamak dari thogho adalah thoghut. Jadi istilah thoghut menurut  Al  Qur’an  bukanlah berhala atau patung, tetapi para pamimpin yang tidak mau menerima  Al  Qur’an   sebagai  ukuran haq  dan bathil, tidak mau menempatkan kitab Allah  sebagai  ukuran keadilan, hukum,  dan jalan yang lurus.

Qs. 4 ayat 60 : “Apakah kamu tidak memperhatikan kepada orang-orang  yang merasa dirinya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kamu ( Al  Qur’an )  dan kepada kitab sebelum kamu (Taurot  dan Injil), namun mereka menghendaki keputusan dari thoghut, sungguh hal yang demikian telah diperintahkan Allah untuk dijauhi, dengan  cara demikian mereka telah mengikuti cara syaithan,  dan pasti syaithan itu akan menyesatkan mereka ke dalam  lembah kesesatan yang amat jauh.

Gaya kehidupan yang menjadi kedaulatan warga Mekkah adalah demikian. Sesungguhnya mereka itu telah merasa dirinya muslim-mukmin, mereka bukan saja telah melakukan ibadah haji, bahkan sudah menjadi imaroh haji atau amirul haji, namun corak kehidupannya dariivat atau sekuler. Jika mereka berkumpul atau bermusyawarah dalam  masalah mu’amalah (ekonomi, politik, hukum  dan kebudayaan) yang digunakan  sebagai  acuan adalah teori-teori yang dikarang oleh orang-orang  besar mereka. Ayat-ayat  kitab yang ada dalam  Taurot, Injil  dan shuhuf Ibrahim tidak mendapat  tempat dalam  Darun Nadwah itu. Dengan demikian dalam  dunia politik, ekonomi, hukum  dan sosial lepas sama sekali dari nilai / moral wahyu Allah yang terdapat dalam  kitab-kitab yang menjadi dasar agama. Oleh sebab itu, dalam  melakukan aktivitas mu’amalah yaitu politik, ekonomi, hukum  dan budaya mereka tidak merasa terikat. Ilmu, ruang kerjanya adalah rasio  dan akal, sedang dalam  dunia akal tidak perlu kaidah moral. Oleh sebab itu jangan heran jika dalam  dunia politik yang berlaku adalah kelicikan yang penuh trik-trik kekuasaan yang lepas dari nilai kemanusiaan, ilmu tidak mampu menyentuh daerah akhlak, maka yang berlaku dalam  dunia ekonomi adalah hukum ekonomi yang berdasarkan pada pertimbangan untung rugi. Nilai-nilai  ihsan yaitu naluri berbuat baik kepada orang lain menjadi lumpuh, ikatan persahabatan ditabrak, bahkan saudara searham diputus habis. Jika dalam bidang hukum, manusia lepas hubungan tanggung jawabnya kepada Allah yang menciptakan dirinya, maka sang hakim dapat mempermainkan hukum untuk kepentingan hawa nafsunya.

Tugas Muhammad adalah untuk memberi peringatan kepada orang-orang  yang demikian,  dan kemudian mengajak kepada corak kehidupan yang tauhid yaitu Islam  sebagai  dien yang ditetapkan Allah, fitrahnya manusia yang akan membawanya ke dalam  kehidupan yang berdasarkan hukum, keadilan, kedamaian, kesejahteraan  dan keselamatan dunia maupun akhirat.

Semoga kita semua bisa mengambil ibroh dari riwayat hidup Muhammad dalam  memahami hakikat sesungguhnya dari din Islam.
Aamiin ....

Sumber : Al Quran, Hadits dan Siroh Nabi Muhammad Saw


Hadits
Permulaan Turunnya Wahyu Kepada nabi Muhammad SAW

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّهَا قَالَتْ
أَوَّلُ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْوَحْيِ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ فِي النَّوْمِ فَكَانَ لَا يَرَى رُؤْيَا إِلَّا جَاءَتْ مِثْلَ فَلَقِ الصُّبْحِ ثُمَّ حُبِّبَ إِلَيْهِ الْخَلَاءُ وَكَانَ يَخْلُو بِغَارِ حِرَاءٍ فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ وَهُوَ التَّعَبُّدُ اللَّيَالِيَ ذَوَاتِ الْعَدَدِ قَبْلَ أَنْ يَنْزِعَ إِلَى أَهْلِهِ وَيَتَزَوَّدُ لِذَلِكَ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى خَدِيجَةَ فَيَتَزَوَّدُ لِمِثْلِهَا حَتَّى جَاءَهُ الْحَقُّ وَهُوَ فِي غَارِ حِرَاءٍ فَجَاءَهُ الْمَلَكُ فَقَالَ اقْرَأْ قَالَ مَا أَنَا بِقَارِئٍ قَالَ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الْجَهْدَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ اقْرَأْ قُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّانِيَةَ حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الْجَهْدَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ اقْرَأْ فَقُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّالِثَةَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ
{ اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ }
فَرَجَعَ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْجُفُ فُؤَادُهُ فَدَخَلَ عَلَى خَدِيجَةَ بِنْتِ خُوَيْلِدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَقَالَ زَمِّلُونِي زَمِّلُونِي فَزَمَّلُوهُ حَتَّى ذَهَبَ عَنْهُ الرَّوْعُ فَقَالَ لِخَدِيجَةَ وَأَخْبَرَهَا الْخَبَرَ لَقَدْ خَشِيتُ عَلَى نَفْسِي فَقَالَتْ خَدِيجَةُ كَلَّا وَاللَّهِ مَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ وَتَقْرِي الضَّيْفَ وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ فَانْطَلَقَتْ بِهِ خَدِيجَةُ حَتَّى أَتَتْ بِهِ وَرَقَةَ بْنَ نَوْفَلِ بْنِ أَسَدِ بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى ابْنَ عَمِّ خَدِيجَةَ وَكَانَ امْرَأً قَدْ تَنَصَّرَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ يَكْتُبُ الْكِتَابَ الْعِبْرَانِيَّ فَيَكْتُبُ مِنْ الْإِنْجِيلِ بِالْعِبْرَانِيَّةِ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكْتُبَ وَكَانَ شَيْخًا كَبِيرًا قَدْ عَمِيَ فَقَالَتْ لَهُ خَدِيجَةُ يَا ابْنَ عَمِّ اسْمَعْ مِنْ ابْنِ أَخِيكَ فَقَالَ لَهُ وَرَقَةُ يَا ابْنَ أَخِي مَاذَا تَرَى فَأَخْبَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَبَرَ مَا رَأَى فَقَالَ لَهُ وَرَقَةُ هَذَا النَّامُوسُ الَّذِي نَزَّلَ اللَّهُ عَلَى مُوسَى يَا لَيْتَنِي فِيهَا جَذَعًا لَيْتَنِي أَكُونُ حَيًّا إِذْ يُخْرِجُكَ قَوْمُكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَمُخْرِجِيَّ هُمْ قَالَ نَعَمْ لَمْ يَأْتِ رَجُلٌ قَطُّ بِمِثْلِ مَا جِئْتَ بِهِ إِلَّا عُودِيَ وَإِنْ يُدْرِكْنِي يَوْمُكَ أَنْصُرْكَ نَصْرًا مُؤَزَّرًا ثُمَّ لَمْ يَنْشَبْ وَرَقَةُ أَنْ تُوُفِّيَ وَفَتَرَ الْوَحْيُ
قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَأَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيَّ قَالَ وَهُوَ يُحَدِّثُ عَنْ فَتْرَةِ الْوَحْيِ فَقَالَ فِي حَدِيثِهِ بَيْنَا أَنَا أَمْشِي إِذْ سَمِعْتُ صَوْتًا مِنْ السَّمَاءِ فَرَفَعْتُ بَصَرِي فَإِذَا الْمَلَكُ الَّذِي جَاءَنِي بِحِرَاءٍ جَالِسٌ عَلَى كُرْسِيٍّ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ فَرُعِبْتُ مِنْهُ فَرَجَعْتُ فَقُلْتُ زَمِّلُونِي زَمِّلُونِي فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى
{ يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ قُمْ فَأَنْذِرْ إِلَى قَوْلِهِ وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ }
فَحَمِيَ الْوَحْيُ وَتَتَابَعَ تَابَعَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ وَأَبُو صَالِحٍ وَتَابَعَهُ هِلَالُ بْنُ رَدَّادٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ وَقَالَ يُونُسُ وَمَعْمَرٌ بَوَادِرُهُ

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair berkata, Telah menceritakan kepada kami dari Al Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihab dari 'Urwah bin Az Zubair dari Aisyah -Ibu Kaum Mu'minin-, bahwasanya dia berkata: "Permulaaan wahyu yang datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah dengan mimpi yang benar dalam tidur. Dan tidaklah Beliau bermimpi kecuali datang seperti cahaya subuh. Kemudian Beliau dianugerahi kecintaan untuk menyendiri, lalu Beliau memilih gua Hiro dan bertahannuts yaitu 'ibadah di malam hari dalam beberapa waktu lamanya sebelum kemudian kembali kepada keluarganya guna mempersiapkan bekal untuk bertahannuts kembali. Kemudian Beliau menemui Khadijah mempersiapkan bekal. Sampai akhirnya datang Al Haq saat Beliau di gua Hiro, Malaikat datang seraya berkata: "Bacalah?" Beliau menjawab: "Aku tidak bisa baca". Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjelaskan: Maka Malaikat itu memegangku dan memelukku sangat kuat kemudian melepaskanku dan berkata lagi: "Bacalah!" Beliau menjawab: "Aku tidak bisa baca". Maka Malaikat itu memegangku dan memelukku sangat kuat kemudian melepaskanku dan berkata lagi: "Bacalah!". Beliau menjawab: "Aku tidak bisa baca". Malaikat itu memegangku kembali dan memelukku untuk ketiga kalinya dengan sangat kuat lalu melepaskanku, dan berkata lagi: (Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah)." Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kembali kepada keluarganya dengan membawa kalimat wahyu tadi dalam keadaan gelisah. Beliau menemui Khadijah binti Khawailidh seraya berkata: "Selimuti aku, selimuti aku!". Beliau pun diselimuti hingga hilang ketakutannya. Lalu Beliau menceritakan peristiwa yang terjadi kepada Khadijah: "Aku mengkhawatirkan diriku". Maka Khadijah berkata: "Demi Allah, Allah tidak akan mencelakakanmu selamanya, karena engkau adalah orang yang menyambung silaturrahim." Khadijah kemudian mengajak Beliau untuk bertemu dengan Waroqoh bin Naufal bin Asad bin Abdul 'Uzza, putra paman Khadijah, yang beragama Nasrani di masa Jahiliyyah, dia juga menulis buku dalam bahasa Ibrani, juga menulis Kitab Injil dalam Bahasa Ibrani dengan izin Allah. Saat itu Waroqoh sudah tua dan matanya buta. Khadijah berkata: "Wahai putra pamanku, dengarkanlah apa yang akan disampaikan oleh putra saudaramu ini". Waroqoh berkata: "Wahai putra saudaraku, apa yang sudah kamu alami". Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menuturkan peristiwa yang dialaminya. Waroqoh berkata: "Ini adalah Namus, seperti yang pernah Allah turunkan kepada Musa. Duhai seandainya aku masih muda dan aku masih hidup saat kamu nanti diusir oleh kaummu". Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya: "Apakah aku akan diusir mereka?" Waroqoh menjawab: "Iya. Karena tidak ada satu orang pun yang datang dengan membawa seperti apa yang kamu bawa ini kecuali akan disakiti (dimusuhi). Seandainya aku ada saat kejadian itu, pasti aku akan menolongmu dengan sekemampuanku". Waroqoh tidak mengalami peristiwa yang diyakininya tersebut karena lebih dahulu meninggal dunia pada masa fatroh (kekosongan) wahyu. Ibnu Syihab berkata; telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa Jabir bin Abdullah Al Anshari bertutur tentang kekosongan wahyu, sebagaimana yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ceritakan: "Ketika sedang berjalan aku mendengar suara dari langit, aku memandang ke arahnya dan ternyata Malaikat yang pernah datang kepadaku di gua Hiro, duduk di atas kursi antara langit dan bumi. Aku pun ketakutan dan pulang, dan berkata: "Selimuti aku. Selimuti aku". Maka Allah Ta'ala menurunkan wahyu: (Wahai orang yang berselimut) sampai firman Allah (dan berhala-berhala tinggalkanlah). Sejak saat itu wahyu terus turun berkesinambungan." Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abdullah bin Yusuf dan Abu Shalih juga oleh Hilal bin Raddad dari Az Zuhri. Dan Yunus berkata; dan Ma'mar menyepakati bahwa dia mendapatkannya dari Az Zuhri.

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.