Sebelum kita memasuki kajian tindak langkah Muhammad Rosulullah, terlebih dahulu kita kenali pribadi Muhammad sebelum ia ditetapkan sebagai nabi dan rasul. Hal ini penting untuk diketahui jika kita ingin dijadikan oleh Allah sebagai pimpinan dari orang-orang yang bertaqwa. Sebagaimana doa kita, waj’alna lil muttaqinna imama , dan jadikanlah aku pemimpin dari orang-orang yang bertaqwa .
Secara biologis, Muhammad adalah keturunan dari para pejuang Islam, yaitu Adnan, salah satu dari keturunan Ismail anak Ibrahim. Adnan kemudian melahirkan keturunan yang singkatnya sampai pada Abdul Mutholib, kakek beliau, pimpinan suku Quraisy yang disegani. Salah seorang putra Abdul Mutholib adalah Abdullah yang menikah dengan Aminah, juga warga Quraisy. Karena kedua orang tua beliau wafat tatkala beliau masih kecil, perlindungan dan pendidikannya diambil alih oleh Abdul Mutholib, dan tatkala kakek beliau wafat, putera Abdul Mutholib, yaitu Abu Tholib lah yang membesarkan Muhammad. Berkat pendidikan pamannya, Muhammad tumbuh menjadi pemuda idaman bagi suku Quraisy, baik dari segi fisik maupun kepribadiannya. Karir Muhammad dalam bidang politik cukup menarik. Pada umur enam belas tahun beliau sudah masuk dinas militer dan ikut dalam perang fijar, yaitu perang antara Qobilah Quraisy dan Kinanah di satu pihak, melawan suku Qois di pihak lain. Perang ini berlangsung selama empat tahun dan berakhir dengan perdamaian.
Akibat perang fijar ini, ketahanan suku Quraisy menjadi rapuh, di dalam negeri terjadi perebutan kekuasaan. Keadaan ini menyebabkan kekuasaan yang ada di luar Mekkah kurang menghormati kedaulatan negara Mekkah.
Atas inisiatif beberapa orang eksponen Quraisy, diadakan rujukan nasional dan hasilnya berupa konsensus nasional dalam bentuk undang-undang dasar baru, yang mengatur negara Mekkah. Muhammad Bin Abdullah berperan aktif dalam konsensus nasional tersebut dan beliau di tunjuk sebagai salah seorang anggota dewan. Organisasi yang beranggotakan pimpinan suku dari bangsa arab itu dinamakan Hilful Fudhul . Dasar dari organisasi itu adalah kebangsaan, dengan tidak membeda-bedakan suku, agama maupun ras. Cara mereka mengambil keputusan di dalam menyelesaikan masalah yang timbul dilakukan dengan prinsip musyawarah dalam suatu dewan yang bersidang pada suatu tempat yang disebut dengan Darun Nadwah . Melihat cara-cara yang ditempuh bangsa Quraisy dalam pemerintahan, tampak jelas bahwa prinsip demokrasi bukan barang baru bagi bangsa Arab (Al Arob).
Umur Muhammad pada waktu itu adalah dua puluh tahun, kemudian beliau menikah dengan Khodijah pada umur dua puluh lima tahun. Tampaknya, karir sebagai anggota Darun Nadwah berlangsung terus sampai menjelang umur empat puluh tahun. Pada umur tiga puluh lima tahun beliau masih aktif menangani masalah yang timbul dalam pemerintahan Darun Nadwah. Yang terakhir beliau di percayakan untuk menangani kasus Hajar Aswad .
Akibat banjir yang menimpa kota Mekkah, Ka’bah yang memang letaknya di dataran rendah (bakah) tergenang air dan Baitullah hampir roboh. Pemerintah Mekkah di bawah pimpinan Walid Bin Mughiroh memimpin rehabilitasi tersebut. Tatkala bangunan sudah selesai, tinggal mengembalikan batu hitam yang merupakan prasasti itu, timbul perselisihan di antara pemimpin suku-suku yang tergabung dalam Hilful Fudhul, siapa yang paling layak meletakkan batu hitam itu ke tempat semula. Selama lima hari musyawarah itu berlangsung, tidak di peroleh keputusan. Akhirnya Walid Bin Mughiroh mengusulkan bahwa orang yang paling awal masuk Masjidil Haram untuk melakukan sholat subuh, dialah yang akan ditetapkan sebagai hakim yang akan memutuskan perkara mereka. Apa yang menjadi dasar pertimbangan usulan seperti itu tidak dijelaskan, tetapi sasaran yang dituju oleh usul itu sudah dapat di duga, yaitu Muhammad bin Abdullah, pemuda cerdas berakhlaq mulia dan paling rajin melaksanakan sholat di masjidil haram.
Keesokan harinya memang sebagaimana biasanya, Muhammad lah yang masuk terlebih dahulu dari pintu yang sudah di tetapkan panitia pembangunan. Dengan amat bijaksana Muhammad menunjukkan dirinya sebagai demokrat yang dijiwai oleh semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Dia meletakkan batu hitam itu di tengah sehelai kain yang secara bersama-sama di bawa ke tempat aslinya. Dan tatkala sudah sampai lokasi, Muhammad mengambil batu itu seorang diri dan meletakannya ke tempat semula. Setelah itu, Muhammad pergi meninggalkan mereka yang sedang terperangah oleh kebijaksanaan yang sederhana tapi penuh arti. Peristiwa itu menambah kepercayaan bangsa Quraisy dan suku-suku lainnya pada Muhammad sebagai orang yang dapat dipercaya atau Al Amin. Peristiwa ini bukan merupakan peristiwa kebetulan, semuanya memang terjadi karena qodrat dan irodah Allah Swt.
Seorang calon pemimpin yang akan mengemban risAllah Allah, yaitu Islam yang harus memiliki sifat-sifat yang terpuji menurut ukuran manusia pada umumnya, yaitu shidiq, tabligh, amanah, fathonah. Sifat-sifat ini merupakan modal besar bagi seorang mujahidin.
Dari sejak kecil ia melihat kehidupan masyarakat Mekkah yang agamis, bahkan dirinya pun produk dari lingkungan yang agamis, terutama didikan kakek dan pamannya yang merupakan pimpinan dari masyarakat agamis, yaitu Islam warisan Ibrohim. Akan tetapi baik Islam warisan nabi Ibrohim dan kaum Yahudi warisan nabi Musa dan golongan Nashrani warisan nabi Isa satu sama lain saling menghujat. Setiap hari Muhammad melakukan sholat di Masjidil Haram bersama dengan masyarakat, tetapi di luar itu kehidupan mereka terpecah belah dalam kelompok /golongan-golongan/partai-partai. Di tangan mereka ada kitab Allah, golongan Quraisy mempunyai shuhuf , Yahudi mempunyai Taurot dan Nashrani mempunyai Injil , semuanya berinduk pada nabi Ibrohim, dan nabi Ibrohim mendapat wahyu itu dari Allah. Tetapi mengapa mereka satu sama lain saling bermusuhan dan mempunyai hukum-hukum sendiri ?
Muhammad yang manusia biasa seperti kita berusaha dengan kemampuan yang ada padanya untuk menyatukan bangsanya. Ia ingin melihat bangsanya hidup rukun dan damai dalam satu masyarakat yang pluralistik atas dasar persamaan hak dan prinsip saling membela dan menolong sesama warganya. Ia ikut dalam perang Fijar dan menjadi anggota organisasi politik kebangsaan Hilful Fudhul tetapi dalam kenyataannya budaya jahiliyah mereka tidak pernah hilang. Persaingan politik antara pimpinan suku dan golongan tidak pernah reda, sikap tamak dan rakus semakin menjadi-jadi, pemerasan dan pemaksaan kelompok yang kuat atas dhuafa terus berjalan, judi, alkohol, pelacuran, serta pemerkosaan semakin menjadi. Muhammad sebagai warga bangsa ingin menyatukan qolbu manusia yang berbeda itu. Dan untuk itulah ia duduk sebagai anggota Darun Nadwah, suatu lembaga permusyawaratan rakyat bangsa arab, pembuat undang-undang. Tetapi Muhammad melihat lembaga tersebut hanya di gunakan untuk kepentingan penguasa mekkah, bukan untuk mentegakkan hukum-hukum Ad-Dien sebagaimana tersebut dalam kitab suci yang ada.
Pada saat beliau membawa dagangan khodijah ke luar negri, ia pun menyaksikan dunia yang sama. Walaupun orang-orang Yahudi dan Nashrani menyatakan bahwa mereka pembawa misi Allah, namun dalam kenyataannya mereka lebih sudi menjadi budak jajahan Romawi dan Persia. Semua itu membuat Muhammad apatis dengan segala bentuk aktifitas politik mekkah. Ia lebih senang hidup menyendiri atau pergi ke gunung, mungkin hanya dengan bertanya pada bintang-bintang di langit atau pada gunung-gunung batu, ia akan mendapatkan jawaban dari segala masalah kehidupan yang ada.
Dalam kondisi kebingungannya itu, datanglah malaikat Jibril yang meminta kepadanya untuk meng-iqro’ keadaan yang demikian itu. Pertanyaan itu langsung di jawab aku tidak sanggup membaca . Muhammad adalah orang yang -ummi- terhadap kitab Allah, oleh sebab itu dia tidak bisa membedakan mana Haq dan mana Bathil. Jika dikatakan masyarakat Mekkah dan masyarakat dunia itu bathil, pada kenyataannya mereka adalah orang-orang yang percaya pada Tuhan, percaya pada kitabullah, mengerjakan sholat, zakat dan juga melaksanakan ibadah haji. Jika ingin di katakan haq pada hakikatnya mereka lebih suka tunduk pada ideologi manusia daripada kitab Allah. Ad-dien hanya di tempatkan sebagai kegiatan spiritual yang sifatnya sebatas pribadi, sedang di dalam kehidupan dunia yang di jadikan landasan adalah konsensus bersama, tanpa memperhatikan hukum-hukum Ad-Dien yang mereka anut. Di sisi lain Muhammad melihat kegiatan para robbaniyun, yaitu pemimpin keagamaan baik Yahudi, Nashrani, maupun Millata Ibrohim, tetapi mereka nilainya tidak kurang lebih dari tukang stempel legitimasi kekuasaan.
Karena sampai tiga kali Muhammad belum mampu membaca jalan keluar daripada kondisi kehidupan ummat manusia yang demikian, maka jibril mengajarkan jawabannya yaitu dengan Isme Robb kamu. Artinya hanya dengan Isme Robb kamu dapat mengenal mana yang haq dan bathil. Dimaksud dengan Isme Robb kamu adalah Asmaul Husna. Asmaul Husna adalah ismun (nama,sifat) atau akhlaq Allah,hanya dengan akhlaq Allah yang demikian, kehidupan seluruh alam menjadi mizan (setimbang) yang penuh dengan keadilan, keselamatan, dan kesejahteraan.
Setelah nabi membaca dengan isme Allah yang demikian terhadap masyarakat dunia dan masyarakat bangsanya, ia sangat terkejut. Terkejut karena penilaiannya selama ini terhadap bangsa dan negaranya serta dirinya, sangat berbeda dengan penilaian Allah. Setelah nabi membaca budaya bangsa dan negaranya dengan Al-Quran barulah nabi dapat mem-furqon atau membedakan mana haq dan mana bathil. Jika al-haq menyatakan hanya Allah saja yang haq untuk di jadikan Robb oleh manusia, ternyata dalam kehidupan bangsanya setiap pemimpin dari golongan-golongan yang ada bertindak sebagai robb. Kata robb menurut syari’at berarti pengatur dengan aturan. Setiap lembaga atau pemimpin yang membuat aturan atau undang-undang (al-hukmu) untuk mengatur urusan manusia berarti ia telah menempatkan dirinya sebagai pengatur (robb).
Tindakan membuat aturan atau hukum yang seperti itu, bukan sunnah rosul tetapi sebaliknya, sunnah fir’aun.
Suatu lembaga atau perorangan yang membuat peraturan undang-undang untuk ditaati oleh masyarakat dilakukan karena memiliki kekuasaan (penguasa). Menurut Islam, di dunia ini tidak boleh ada penguasa yang menguasai manusia sebagai makhluk milik Allah. Tindakan ini adalah tindakan menyaingi atau mensyarikati Allah. Dalam hal yang demikian inilah Allah menggunakan istilah -musyrik-. Oleh sebab itu , barang siapa yang mendirikan kekuasaan tidak melalui prosedur yang di ridhoi Allah yaitu Al Quran Sunnah, maka kekuasaan itu disebut kekuasaan musyrikin. Daulah Mekkah dengan para pemimpinnya semodel Abu Jahal, Abu Lahab, Abu Sofyan, adalah tipe dari kekuasaan yang seperti itu. Selanjutnya Allah menciptakan ummat manusia tidak lain bertujuan agar manusia mengabdi hanya kepada Nya. Istilah mengabdi di sini adalah dalam arti itho’ah atau taat kepada undang-undang Allah yaitu Al Quran Sunnah.
Suatu lembaga atau pemimpin yang membuat peraturan perundang-undangan atas dasar kekuasaan yang di milikinya, kedudukannya sama dengan ilah, yaitu sesuatu yang di puja, disembah , diibadati. Fir’aun menyatakan dirinya ilah bukan berarti dia mengaku dirinya tuhan, tetapi hal itu dinyatakan dalam hubungannya sebagai penguasa tertinggi mesir. Sunnah fir’aun identik dengan perilaku kekuasaan di mekkah. Para pemimpin mekkah merupakan ilah-ilah kecil bagi bangsa arab pada waktu itu. Di dunia ini menurut aqidah Al Quran Sunnah, tidak boleh ada perilaku seperti demikian, baik yang di sembah maupun masyarakat yang mengabdi atau menyembahnya sama saja. Itulah esensi kemusyrikan.
Setelah Muhammad diangkat menjadi nabi (pembawa berita dari Allah) atau rosul (pembawa risalah dari Allah), ia diperintahkan menyampaikan itu pada orang lain. Di bawah bimbingan Allah, baik secara langsung atau melalui jibril atau secara tidak langsung (min waro’il hijab). Di bawah bimbingan Allah, ayat-ayat Al Quran itu di sampaikan ayat demi ayat secara sistematis sesuai dengan fase perjalanan da’wah atau jihad itu. Setiap ayat berupa perintah dan larangan maka sikap nabi bersama2 dengan orang-orang yang telah beriman lainnya adalah sami’na wa atho’na kami dengar dan kami taat ( Qs. 2 : 285).
Inti dari ajaran Islam adalah dunia nilai, yaitu ukuran haq dan bathil, benar dan salah, baik dan buruk. al-haqqu min robbika, falaa takunanna minal mumtarin ,haq atau kebenaran itu dari robb kamu (Al Quran), maka janganlah kamu menjadi orang yang ragu terhadap Al Quran itu. Masalah baik dan buruk, benar dan salah, haq dan bathil merupakan masalah kwalitatif yang sifatnya emosional, subyektif dan kondisional. Oleh sebab itu Allah menurunkan timbangan (miqdar) yang harus di jadikan qodar untuk tolak ukur manusia. Inilah merupakan rahmat yang terbesar dari Allah kepada manusia yang tidak sempurna ini. Sebagian besar manusia lebih senang menyembah kepada berhala bikinannya sendiri, kepada hasil pemikirannya sendiri, apalagi hasil hasil gagasannya itu mendapat dukungan orang banyak, jika gagasannya itu mendapat dukungan mayoritas manusia, anak berhala yang semula kecil yang ada di dalam qolbu si pencetus gagasan itu, berubah menjadi berhala besar yang di simbolkan dengan berbagai atribut kebenaran oleh suatu kaum atau bangsa.
Orang-orang Mekkah memiliki ideologi bersama yang menjadi pujaan mereka, dan simbol-simbol kebenaran, keselamatan, keadilan, kesejahteraan, berbentuk atribut latta, uzza, manaat, hubal, nasr. Yang mereka sembah sesungguhnya bukan atribut fisik dalam bentuk patung namun yang mereka -akbar-kan adalah isme-isme yang terkandung di balik atribut itu. sebagai contoh ka’bah sebagai simbol atau atribut Islam. Setiap sholat atau haji, jutaan ummat Islam mengarah ke sana, bahkan di sunnahkan untuk menciumnya. Kita sebagai umat Islam menolak jika dikatakan menyembah Ka’bah atau batu hitam itu, yang kita sembah bukan rumah atau batu hitam itu. Itu semua adalah simbol bagi manusia yang berserah diri kpada Allah, dan ketetapan untuk menjadikan Ka’bah sebagai kiblat itu adalah perintah Allah, bukan ciptaan nabi Adam atau nabi Ibrohim.
Pengertian thogut Qs. 4:60, bukan berarti patung, dilihat dari salah satu ayat pada surat Al-Alaq, manyatakan arro-a-hus taghna , kata taghna berasal dari kata ghoyya yang maknanya cukup atau ghonni yang artinya kaya. Dalam hal ini manusia melihat dirinya sudah merasa kaya atau cukup. Manusia semula adalah unsur thurob yaitu unsur-unsur tanah yang kemudian menjadi bentuk tumbuhan, hewan dan air. Zat-zat tersebut dimakan oleh manusia, dan di dalam tubuh sebagian dari zat2 tanah di ubah menjadi sel-sel (shulalah), dari sel-sel tersebut dimutasi menjadi sperma (nuthfah) di tempat khusus yang terlindungi, nuthfah di pancarkan pada ovum wanita, dan di sana nuthfah tersebut tumbuh menjadi alaqoh (perpaduan nuthfah dan ovum wanita) kemudian membelah diri dan berkembang menjadi embrio (mudghoh), dari sini berkembanglah tulang-tulang (izhoman) yang kemudian di balut oleh daging (lahman), setelah masanya dikeluarkan menjadi thiflan atau bayi (kholqon akhor).
Secara biologis manusia itu adalah makhluk yang berkembang menuju terciptanya manusia insan kamil yaitu manusia yang berakhlak Al Quran. Jika manusia karena intelektualnya sudah merasa cukup dan tidak memerlukan apa-apa lagi dari Robb-nya, berarti dia telah memutuskan silah dengan Robb-nya. Sikap seperti ini disebut thogho, yaitu takabur atau sombong karena sudah menjadi makhluk yang mampu berpikir. Kemampuan berpikir bukanlah akhir dari proses perkembangan jiwa manusia. Tujuan akhir menurut program Allah adalah hamba-Nya yaitu manusia yang mengabdi kepada ma’bud nya, yaitu Allah. Fir’aun termasuk orang yang dicap oleh Allah sebagai thogho (idzhab ila fir’auna innahu thogho). Jamak dari thogho adalah thoghut. Jadi istilah thoghut menurut Al Qur’an bukanlah berhala atau patung, tetapi para pamimpin yang tidak mau menerima Al Qur’an sebagai ukuran haq dan bathil, tidak mau menempatkan kitab Allah sebagai ukuran keadilan, hukum, dan jalan yang lurus.
Qs. 4 ayat 60 : “Apakah kamu tidak memperhatikan kepada orang-orang yang merasa dirinya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kamu ( Al Qur’an ) dan kepada kitab sebelum kamu (Taurot dan Injil), namun mereka menghendaki keputusan dari thoghut, sungguh hal yang demikian telah diperintahkan Allah untuk dijauhi, dengan cara demikian mereka telah mengikuti cara syaithan, dan pasti syaithan itu akan menyesatkan mereka ke dalam lembah kesesatan yang amat jauh.
Gaya kehidupan yang menjadi kedaulatan warga Mekkah adalah demikian. Sesungguhnya mereka itu telah merasa dirinya muslim-mukmin, mereka bukan saja telah melakukan ibadah haji, bahkan sudah menjadi imaroh haji atau amirul haji, namun corak kehidupannya dariivat atau sekuler. Jika mereka berkumpul atau bermusyawarah dalam masalah mu’amalah (ekonomi, politik, hukum dan kebudayaan) yang digunakan sebagai acuan adalah teori-teori yang dikarang oleh orang-orang besar mereka. Ayat-ayat kitab yang ada dalam Taurot, Injil dan shuhuf Ibrahim tidak mendapat tempat dalam Darun Nadwah itu. Dengan demikian dalam dunia politik, ekonomi, hukum dan sosial lepas sama sekali dari nilai / moral wahyu Allah yang terdapat dalam kitab-kitab yang menjadi dasar agama. Oleh sebab itu, dalam melakukan aktivitas mu’amalah yaitu politik, ekonomi, hukum dan budaya mereka tidak merasa terikat. Ilmu, ruang kerjanya adalah rasio dan akal, sedang dalam dunia akal tidak perlu kaidah moral. Oleh sebab itu jangan heran jika dalam dunia politik yang berlaku adalah kelicikan yang penuh trik-trik kekuasaan yang lepas dari nilai kemanusiaan, ilmu tidak mampu menyentuh daerah akhlak, maka yang berlaku dalam dunia ekonomi adalah hukum ekonomi yang berdasarkan pada pertimbangan untung rugi. Nilai-nilai ihsan yaitu naluri berbuat baik kepada orang lain menjadi lumpuh, ikatan persahabatan ditabrak, bahkan saudara searham diputus habis. Jika dalam bidang hukum, manusia lepas hubungan tanggung jawabnya kepada Allah yang menciptakan dirinya, maka sang hakim dapat mempermainkan hukum untuk kepentingan hawa nafsunya.
Tugas Muhammad adalah untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang demikian, dan kemudian mengajak kepada corak kehidupan yang tauhid yaitu Islam sebagai dien yang ditetapkan Allah, fitrahnya manusia yang akan membawanya ke dalam kehidupan yang berdasarkan hukum, keadilan, kedamaian, kesejahteraan dan keselamatan dunia maupun akhirat.
Semoga kita semua bisa mengambil ibroh dari riwayat hidup Muhammad dalam memahami hakikat sesungguhnya dari din Islam.
Aamiin ....
Sumber : Al Quran, Hadits dan Siroh Nabi Muhammad Saw
Hadits
Permulaan Turunnya Wahyu Kepada nabi Muhammad SAW
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّهَا قَالَتْ
أَوَّلُ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْوَحْيِ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ فِي النَّوْمِ فَكَانَ لَا يَرَى رُؤْيَا إِلَّا جَاءَتْ مِثْلَ فَلَقِ الصُّبْحِ ثُمَّ حُبِّبَ إِلَيْهِ الْخَلَاءُ وَكَانَ يَخْلُو بِغَارِ حِرَاءٍ فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ وَهُوَ التَّعَبُّدُ اللَّيَالِيَ ذَوَاتِ الْعَدَدِ قَبْلَ أَنْ يَنْزِعَ إِلَى أَهْلِهِ وَيَتَزَوَّدُ لِذَلِكَ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى خَدِيجَةَ فَيَتَزَوَّدُ لِمِثْلِهَا حَتَّى جَاءَهُ الْحَقُّ وَهُوَ فِي غَارِ حِرَاءٍ فَجَاءَهُ الْمَلَكُ فَقَالَ اقْرَأْ قَالَ مَا أَنَا بِقَارِئٍ قَالَ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الْجَهْدَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ اقْرَأْ قُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّانِيَةَ حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الْجَهْدَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ اقْرَأْ فَقُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّالِثَةَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ
{ اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ }
فَرَجَعَ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْجُفُ فُؤَادُهُ فَدَخَلَ عَلَى خَدِيجَةَ بِنْتِ خُوَيْلِدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَقَالَ زَمِّلُونِي زَمِّلُونِي فَزَمَّلُوهُ حَتَّى ذَهَبَ عَنْهُ الرَّوْعُ فَقَالَ لِخَدِيجَةَ وَأَخْبَرَهَا الْخَبَرَ لَقَدْ خَشِيتُ عَلَى نَفْسِي فَقَالَتْ خَدِيجَةُ كَلَّا وَاللَّهِ مَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ وَتَقْرِي الضَّيْفَ وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ فَانْطَلَقَتْ بِهِ خَدِيجَةُ حَتَّى أَتَتْ بِهِ وَرَقَةَ بْنَ نَوْفَلِ بْنِ أَسَدِ بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى ابْنَ عَمِّ خَدِيجَةَ وَكَانَ امْرَأً قَدْ تَنَصَّرَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ يَكْتُبُ الْكِتَابَ الْعِبْرَانِيَّ فَيَكْتُبُ مِنْ الْإِنْجِيلِ بِالْعِبْرَانِيَّةِ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكْتُبَ وَكَانَ شَيْخًا كَبِيرًا قَدْ عَمِيَ فَقَالَتْ لَهُ خَدِيجَةُ يَا ابْنَ عَمِّ اسْمَعْ مِنْ ابْنِ أَخِيكَ فَقَالَ لَهُ وَرَقَةُ يَا ابْنَ أَخِي مَاذَا تَرَى فَأَخْبَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَبَرَ مَا رَأَى فَقَالَ لَهُ وَرَقَةُ هَذَا النَّامُوسُ الَّذِي نَزَّلَ اللَّهُ عَلَى مُوسَى يَا لَيْتَنِي فِيهَا جَذَعًا لَيْتَنِي أَكُونُ حَيًّا إِذْ يُخْرِجُكَ قَوْمُكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَمُخْرِجِيَّ هُمْ قَالَ نَعَمْ لَمْ يَأْتِ رَجُلٌ قَطُّ بِمِثْلِ مَا جِئْتَ بِهِ إِلَّا عُودِيَ وَإِنْ يُدْرِكْنِي يَوْمُكَ أَنْصُرْكَ نَصْرًا مُؤَزَّرًا ثُمَّ لَمْ يَنْشَبْ وَرَقَةُ أَنْ تُوُفِّيَ وَفَتَرَ الْوَحْيُ
قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَأَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيَّ قَالَ وَهُوَ يُحَدِّثُ عَنْ فَتْرَةِ الْوَحْيِ فَقَالَ فِي حَدِيثِهِ بَيْنَا أَنَا أَمْشِي إِذْ سَمِعْتُ صَوْتًا مِنْ السَّمَاءِ فَرَفَعْتُ بَصَرِي فَإِذَا الْمَلَكُ الَّذِي جَاءَنِي بِحِرَاءٍ جَالِسٌ عَلَى كُرْسِيٍّ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ فَرُعِبْتُ مِنْهُ فَرَجَعْتُ فَقُلْتُ زَمِّلُونِي زَمِّلُونِي فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى
{ يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ قُمْ فَأَنْذِرْ إِلَى قَوْلِهِ وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ }
فَحَمِيَ الْوَحْيُ وَتَتَابَعَ تَابَعَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ وَأَبُو صَالِحٍ وَتَابَعَهُ هِلَالُ بْنُ رَدَّادٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ وَقَالَ يُونُسُ وَمَعْمَرٌ بَوَادِرُهُ
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair berkata, Telah menceritakan kepada kami dari Al Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihab dari 'Urwah bin Az Zubair dari Aisyah -Ibu Kaum Mu'minin-, bahwasanya dia berkata: "Permulaaan wahyu yang datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah dengan mimpi yang benar dalam tidur. Dan tidaklah Beliau bermimpi kecuali datang seperti cahaya subuh. Kemudian Beliau dianugerahi kecintaan untuk menyendiri, lalu Beliau memilih gua Hiro dan bertahannuts yaitu 'ibadah di malam hari dalam beberapa waktu lamanya sebelum kemudian kembali kepada keluarganya guna mempersiapkan bekal untuk bertahannuts kembali. Kemudian Beliau menemui Khadijah mempersiapkan bekal. Sampai akhirnya datang Al Haq saat Beliau di gua Hiro, Malaikat datang seraya berkata: "Bacalah?" Beliau menjawab: "Aku tidak bisa baca". Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjelaskan: Maka Malaikat itu memegangku dan memelukku sangat kuat kemudian melepaskanku dan berkata lagi: "Bacalah!" Beliau menjawab: "Aku tidak bisa baca". Maka Malaikat itu memegangku dan memelukku sangat kuat kemudian melepaskanku dan berkata lagi: "Bacalah!". Beliau menjawab: "Aku tidak bisa baca". Malaikat itu memegangku kembali dan memelukku untuk ketiga kalinya dengan sangat kuat lalu melepaskanku, dan berkata lagi: (Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah)." Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kembali kepada keluarganya dengan membawa kalimat wahyu tadi dalam keadaan gelisah. Beliau menemui Khadijah binti Khawailidh seraya berkata: "Selimuti aku, selimuti aku!". Beliau pun diselimuti hingga hilang ketakutannya. Lalu Beliau menceritakan peristiwa yang terjadi kepada Khadijah: "Aku mengkhawatirkan diriku". Maka Khadijah berkata: "Demi Allah, Allah tidak akan mencelakakanmu selamanya, karena engkau adalah orang yang menyambung silaturrahim." Khadijah kemudian mengajak Beliau untuk bertemu dengan Waroqoh bin Naufal bin Asad bin Abdul 'Uzza, putra paman Khadijah, yang beragama Nasrani di masa Jahiliyyah, dia juga menulis buku dalam bahasa Ibrani, juga menulis Kitab Injil dalam Bahasa Ibrani dengan izin Allah. Saat itu Waroqoh sudah tua dan matanya buta. Khadijah berkata: "Wahai putra pamanku, dengarkanlah apa yang akan disampaikan oleh putra saudaramu ini". Waroqoh berkata: "Wahai putra saudaraku, apa yang sudah kamu alami". Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menuturkan peristiwa yang dialaminya. Waroqoh berkata: "Ini adalah Namus, seperti yang pernah Allah turunkan kepada Musa. Duhai seandainya aku masih muda dan aku masih hidup saat kamu nanti diusir oleh kaummu". Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya: "Apakah aku akan diusir mereka?" Waroqoh menjawab: "Iya. Karena tidak ada satu orang pun yang datang dengan membawa seperti apa yang kamu bawa ini kecuali akan disakiti (dimusuhi). Seandainya aku ada saat kejadian itu, pasti aku akan menolongmu dengan sekemampuanku". Waroqoh tidak mengalami peristiwa yang diyakininya tersebut karena lebih dahulu meninggal dunia pada masa fatroh (kekosongan) wahyu. Ibnu Syihab berkata; telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa Jabir bin Abdullah Al Anshari bertutur tentang kekosongan wahyu, sebagaimana yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ceritakan: "Ketika sedang berjalan aku mendengar suara dari langit, aku memandang ke arahnya dan ternyata Malaikat yang pernah datang kepadaku di gua Hiro, duduk di atas kursi antara langit dan bumi. Aku pun ketakutan dan pulang, dan berkata: "Selimuti aku. Selimuti aku". Maka Allah Ta'ala menurunkan wahyu: (Wahai orang yang berselimut) sampai firman Allah (dan berhala-berhala tinggalkanlah). Sejak saat itu wahyu terus turun berkesinambungan." Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abdullah bin Yusuf dan Abu Shalih juga oleh Hilal bin Raddad dari Az Zuhri. Dan Yunus berkata; dan Ma'mar menyepakati bahwa dia mendapatkannya dari Az Zuhri.
Secara biologis, Muhammad adalah keturunan dari para pejuang Islam, yaitu Adnan, salah satu dari keturunan Ismail anak Ibrahim. Adnan kemudian melahirkan keturunan yang singkatnya sampai pada Abdul Mutholib, kakek beliau, pimpinan suku Quraisy yang disegani. Salah seorang putra Abdul Mutholib adalah Abdullah yang menikah dengan Aminah, juga warga Quraisy. Karena kedua orang tua beliau wafat tatkala beliau masih kecil, perlindungan dan pendidikannya diambil alih oleh Abdul Mutholib, dan tatkala kakek beliau wafat, putera Abdul Mutholib, yaitu Abu Tholib lah yang membesarkan Muhammad. Berkat pendidikan pamannya, Muhammad tumbuh menjadi pemuda idaman bagi suku Quraisy, baik dari segi fisik maupun kepribadiannya. Karir Muhammad dalam bidang politik cukup menarik. Pada umur enam belas tahun beliau sudah masuk dinas militer dan ikut dalam perang fijar, yaitu perang antara Qobilah Quraisy dan Kinanah di satu pihak, melawan suku Qois di pihak lain. Perang ini berlangsung selama empat tahun dan berakhir dengan perdamaian.
Akibat perang fijar ini, ketahanan suku Quraisy menjadi rapuh, di dalam negeri terjadi perebutan kekuasaan. Keadaan ini menyebabkan kekuasaan yang ada di luar Mekkah kurang menghormati kedaulatan negara Mekkah.
Atas inisiatif beberapa orang eksponen Quraisy, diadakan rujukan nasional dan hasilnya berupa konsensus nasional dalam bentuk undang-undang dasar baru, yang mengatur negara Mekkah. Muhammad Bin Abdullah berperan aktif dalam konsensus nasional tersebut dan beliau di tunjuk sebagai salah seorang anggota dewan. Organisasi yang beranggotakan pimpinan suku dari bangsa arab itu dinamakan Hilful Fudhul . Dasar dari organisasi itu adalah kebangsaan, dengan tidak membeda-bedakan suku, agama maupun ras. Cara mereka mengambil keputusan di dalam menyelesaikan masalah yang timbul dilakukan dengan prinsip musyawarah dalam suatu dewan yang bersidang pada suatu tempat yang disebut dengan Darun Nadwah . Melihat cara-cara yang ditempuh bangsa Quraisy dalam pemerintahan, tampak jelas bahwa prinsip demokrasi bukan barang baru bagi bangsa Arab (Al Arob).
Umur Muhammad pada waktu itu adalah dua puluh tahun, kemudian beliau menikah dengan Khodijah pada umur dua puluh lima tahun. Tampaknya, karir sebagai anggota Darun Nadwah berlangsung terus sampai menjelang umur empat puluh tahun. Pada umur tiga puluh lima tahun beliau masih aktif menangani masalah yang timbul dalam pemerintahan Darun Nadwah. Yang terakhir beliau di percayakan untuk menangani kasus Hajar Aswad .
Akibat banjir yang menimpa kota Mekkah, Ka’bah yang memang letaknya di dataran rendah (bakah) tergenang air dan Baitullah hampir roboh. Pemerintah Mekkah di bawah pimpinan Walid Bin Mughiroh memimpin rehabilitasi tersebut. Tatkala bangunan sudah selesai, tinggal mengembalikan batu hitam yang merupakan prasasti itu, timbul perselisihan di antara pemimpin suku-suku yang tergabung dalam Hilful Fudhul, siapa yang paling layak meletakkan batu hitam itu ke tempat semula. Selama lima hari musyawarah itu berlangsung, tidak di peroleh keputusan. Akhirnya Walid Bin Mughiroh mengusulkan bahwa orang yang paling awal masuk Masjidil Haram untuk melakukan sholat subuh, dialah yang akan ditetapkan sebagai hakim yang akan memutuskan perkara mereka. Apa yang menjadi dasar pertimbangan usulan seperti itu tidak dijelaskan, tetapi sasaran yang dituju oleh usul itu sudah dapat di duga, yaitu Muhammad bin Abdullah, pemuda cerdas berakhlaq mulia dan paling rajin melaksanakan sholat di masjidil haram.
Keesokan harinya memang sebagaimana biasanya, Muhammad lah yang masuk terlebih dahulu dari pintu yang sudah di tetapkan panitia pembangunan. Dengan amat bijaksana Muhammad menunjukkan dirinya sebagai demokrat yang dijiwai oleh semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Dia meletakkan batu hitam itu di tengah sehelai kain yang secara bersama-sama di bawa ke tempat aslinya. Dan tatkala sudah sampai lokasi, Muhammad mengambil batu itu seorang diri dan meletakannya ke tempat semula. Setelah itu, Muhammad pergi meninggalkan mereka yang sedang terperangah oleh kebijaksanaan yang sederhana tapi penuh arti. Peristiwa itu menambah kepercayaan bangsa Quraisy dan suku-suku lainnya pada Muhammad sebagai orang yang dapat dipercaya atau Al Amin. Peristiwa ini bukan merupakan peristiwa kebetulan, semuanya memang terjadi karena qodrat dan irodah Allah Swt.
Seorang calon pemimpin yang akan mengemban risAllah Allah, yaitu Islam yang harus memiliki sifat-sifat yang terpuji menurut ukuran manusia pada umumnya, yaitu shidiq, tabligh, amanah, fathonah. Sifat-sifat ini merupakan modal besar bagi seorang mujahidin.
Dari sejak kecil ia melihat kehidupan masyarakat Mekkah yang agamis, bahkan dirinya pun produk dari lingkungan yang agamis, terutama didikan kakek dan pamannya yang merupakan pimpinan dari masyarakat agamis, yaitu Islam warisan Ibrohim. Akan tetapi baik Islam warisan nabi Ibrohim dan kaum Yahudi warisan nabi Musa dan golongan Nashrani warisan nabi Isa satu sama lain saling menghujat. Setiap hari Muhammad melakukan sholat di Masjidil Haram bersama dengan masyarakat, tetapi di luar itu kehidupan mereka terpecah belah dalam kelompok /golongan-golongan/partai-partai. Di tangan mereka ada kitab Allah, golongan Quraisy mempunyai shuhuf , Yahudi mempunyai Taurot dan Nashrani mempunyai Injil , semuanya berinduk pada nabi Ibrohim, dan nabi Ibrohim mendapat wahyu itu dari Allah. Tetapi mengapa mereka satu sama lain saling bermusuhan dan mempunyai hukum-hukum sendiri ?
Muhammad yang manusia biasa seperti kita berusaha dengan kemampuan yang ada padanya untuk menyatukan bangsanya. Ia ingin melihat bangsanya hidup rukun dan damai dalam satu masyarakat yang pluralistik atas dasar persamaan hak dan prinsip saling membela dan menolong sesama warganya. Ia ikut dalam perang Fijar dan menjadi anggota organisasi politik kebangsaan Hilful Fudhul tetapi dalam kenyataannya budaya jahiliyah mereka tidak pernah hilang. Persaingan politik antara pimpinan suku dan golongan tidak pernah reda, sikap tamak dan rakus semakin menjadi-jadi, pemerasan dan pemaksaan kelompok yang kuat atas dhuafa terus berjalan, judi, alkohol, pelacuran, serta pemerkosaan semakin menjadi. Muhammad sebagai warga bangsa ingin menyatukan qolbu manusia yang berbeda itu. Dan untuk itulah ia duduk sebagai anggota Darun Nadwah, suatu lembaga permusyawaratan rakyat bangsa arab, pembuat undang-undang. Tetapi Muhammad melihat lembaga tersebut hanya di gunakan untuk kepentingan penguasa mekkah, bukan untuk mentegakkan hukum-hukum Ad-Dien sebagaimana tersebut dalam kitab suci yang ada.
Pada saat beliau membawa dagangan khodijah ke luar negri, ia pun menyaksikan dunia yang sama. Walaupun orang-orang Yahudi dan Nashrani menyatakan bahwa mereka pembawa misi Allah, namun dalam kenyataannya mereka lebih sudi menjadi budak jajahan Romawi dan Persia. Semua itu membuat Muhammad apatis dengan segala bentuk aktifitas politik mekkah. Ia lebih senang hidup menyendiri atau pergi ke gunung, mungkin hanya dengan bertanya pada bintang-bintang di langit atau pada gunung-gunung batu, ia akan mendapatkan jawaban dari segala masalah kehidupan yang ada.
Dalam kondisi kebingungannya itu, datanglah malaikat Jibril yang meminta kepadanya untuk meng-iqro’ keadaan yang demikian itu. Pertanyaan itu langsung di jawab aku tidak sanggup membaca . Muhammad adalah orang yang -ummi- terhadap kitab Allah, oleh sebab itu dia tidak bisa membedakan mana Haq dan mana Bathil. Jika dikatakan masyarakat Mekkah dan masyarakat dunia itu bathil, pada kenyataannya mereka adalah orang-orang yang percaya pada Tuhan, percaya pada kitabullah, mengerjakan sholat, zakat dan juga melaksanakan ibadah haji. Jika ingin di katakan haq pada hakikatnya mereka lebih suka tunduk pada ideologi manusia daripada kitab Allah. Ad-dien hanya di tempatkan sebagai kegiatan spiritual yang sifatnya sebatas pribadi, sedang di dalam kehidupan dunia yang di jadikan landasan adalah konsensus bersama, tanpa memperhatikan hukum-hukum Ad-Dien yang mereka anut. Di sisi lain Muhammad melihat kegiatan para robbaniyun, yaitu pemimpin keagamaan baik Yahudi, Nashrani, maupun Millata Ibrohim, tetapi mereka nilainya tidak kurang lebih dari tukang stempel legitimasi kekuasaan.
Karena sampai tiga kali Muhammad belum mampu membaca jalan keluar daripada kondisi kehidupan ummat manusia yang demikian, maka jibril mengajarkan jawabannya yaitu dengan Isme Robb kamu. Artinya hanya dengan Isme Robb kamu dapat mengenal mana yang haq dan bathil. Dimaksud dengan Isme Robb kamu adalah Asmaul Husna. Asmaul Husna adalah ismun (nama,sifat) atau akhlaq Allah,hanya dengan akhlaq Allah yang demikian, kehidupan seluruh alam menjadi mizan (setimbang) yang penuh dengan keadilan, keselamatan, dan kesejahteraan.
Setelah nabi membaca dengan isme Allah yang demikian terhadap masyarakat dunia dan masyarakat bangsanya, ia sangat terkejut. Terkejut karena penilaiannya selama ini terhadap bangsa dan negaranya serta dirinya, sangat berbeda dengan penilaian Allah. Setelah nabi membaca budaya bangsa dan negaranya dengan Al-Quran barulah nabi dapat mem-furqon atau membedakan mana haq dan mana bathil. Jika al-haq menyatakan hanya Allah saja yang haq untuk di jadikan Robb oleh manusia, ternyata dalam kehidupan bangsanya setiap pemimpin dari golongan-golongan yang ada bertindak sebagai robb. Kata robb menurut syari’at berarti pengatur dengan aturan. Setiap lembaga atau pemimpin yang membuat aturan atau undang-undang (al-hukmu) untuk mengatur urusan manusia berarti ia telah menempatkan dirinya sebagai pengatur (robb).
Tindakan membuat aturan atau hukum yang seperti itu, bukan sunnah rosul tetapi sebaliknya, sunnah fir’aun.
Suatu lembaga atau perorangan yang membuat peraturan undang-undang untuk ditaati oleh masyarakat dilakukan karena memiliki kekuasaan (penguasa). Menurut Islam, di dunia ini tidak boleh ada penguasa yang menguasai manusia sebagai makhluk milik Allah. Tindakan ini adalah tindakan menyaingi atau mensyarikati Allah. Dalam hal yang demikian inilah Allah menggunakan istilah -musyrik-. Oleh sebab itu , barang siapa yang mendirikan kekuasaan tidak melalui prosedur yang di ridhoi Allah yaitu Al Quran Sunnah, maka kekuasaan itu disebut kekuasaan musyrikin. Daulah Mekkah dengan para pemimpinnya semodel Abu Jahal, Abu Lahab, Abu Sofyan, adalah tipe dari kekuasaan yang seperti itu. Selanjutnya Allah menciptakan ummat manusia tidak lain bertujuan agar manusia mengabdi hanya kepada Nya. Istilah mengabdi di sini adalah dalam arti itho’ah atau taat kepada undang-undang Allah yaitu Al Quran Sunnah.
Suatu lembaga atau pemimpin yang membuat peraturan perundang-undangan atas dasar kekuasaan yang di milikinya, kedudukannya sama dengan ilah, yaitu sesuatu yang di puja, disembah , diibadati. Fir’aun menyatakan dirinya ilah bukan berarti dia mengaku dirinya tuhan, tetapi hal itu dinyatakan dalam hubungannya sebagai penguasa tertinggi mesir. Sunnah fir’aun identik dengan perilaku kekuasaan di mekkah. Para pemimpin mekkah merupakan ilah-ilah kecil bagi bangsa arab pada waktu itu. Di dunia ini menurut aqidah Al Quran Sunnah, tidak boleh ada perilaku seperti demikian, baik yang di sembah maupun masyarakat yang mengabdi atau menyembahnya sama saja. Itulah esensi kemusyrikan.
Setelah Muhammad diangkat menjadi nabi (pembawa berita dari Allah) atau rosul (pembawa risalah dari Allah), ia diperintahkan menyampaikan itu pada orang lain. Di bawah bimbingan Allah, baik secara langsung atau melalui jibril atau secara tidak langsung (min waro’il hijab). Di bawah bimbingan Allah, ayat-ayat Al Quran itu di sampaikan ayat demi ayat secara sistematis sesuai dengan fase perjalanan da’wah atau jihad itu. Setiap ayat berupa perintah dan larangan maka sikap nabi bersama2 dengan orang-orang yang telah beriman lainnya adalah sami’na wa atho’na kami dengar dan kami taat ( Qs. 2 : 285).
Inti dari ajaran Islam adalah dunia nilai, yaitu ukuran haq dan bathil, benar dan salah, baik dan buruk. al-haqqu min robbika, falaa takunanna minal mumtarin ,haq atau kebenaran itu dari robb kamu (Al Quran), maka janganlah kamu menjadi orang yang ragu terhadap Al Quran itu. Masalah baik dan buruk, benar dan salah, haq dan bathil merupakan masalah kwalitatif yang sifatnya emosional, subyektif dan kondisional. Oleh sebab itu Allah menurunkan timbangan (miqdar) yang harus di jadikan qodar untuk tolak ukur manusia. Inilah merupakan rahmat yang terbesar dari Allah kepada manusia yang tidak sempurna ini. Sebagian besar manusia lebih senang menyembah kepada berhala bikinannya sendiri, kepada hasil pemikirannya sendiri, apalagi hasil hasil gagasannya itu mendapat dukungan orang banyak, jika gagasannya itu mendapat dukungan mayoritas manusia, anak berhala yang semula kecil yang ada di dalam qolbu si pencetus gagasan itu, berubah menjadi berhala besar yang di simbolkan dengan berbagai atribut kebenaran oleh suatu kaum atau bangsa.
Orang-orang Mekkah memiliki ideologi bersama yang menjadi pujaan mereka, dan simbol-simbol kebenaran, keselamatan, keadilan, kesejahteraan, berbentuk atribut latta, uzza, manaat, hubal, nasr. Yang mereka sembah sesungguhnya bukan atribut fisik dalam bentuk patung namun yang mereka -akbar-kan adalah isme-isme yang terkandung di balik atribut itu. sebagai contoh ka’bah sebagai simbol atau atribut Islam. Setiap sholat atau haji, jutaan ummat Islam mengarah ke sana, bahkan di sunnahkan untuk menciumnya. Kita sebagai umat Islam menolak jika dikatakan menyembah Ka’bah atau batu hitam itu, yang kita sembah bukan rumah atau batu hitam itu. Itu semua adalah simbol bagi manusia yang berserah diri kpada Allah, dan ketetapan untuk menjadikan Ka’bah sebagai kiblat itu adalah perintah Allah, bukan ciptaan nabi Adam atau nabi Ibrohim.
Pengertian thogut Qs. 4:60, bukan berarti patung, dilihat dari salah satu ayat pada surat Al-Alaq, manyatakan arro-a-hus taghna , kata taghna berasal dari kata ghoyya yang maknanya cukup atau ghonni yang artinya kaya. Dalam hal ini manusia melihat dirinya sudah merasa kaya atau cukup. Manusia semula adalah unsur thurob yaitu unsur-unsur tanah yang kemudian menjadi bentuk tumbuhan, hewan dan air. Zat-zat tersebut dimakan oleh manusia, dan di dalam tubuh sebagian dari zat2 tanah di ubah menjadi sel-sel (shulalah), dari sel-sel tersebut dimutasi menjadi sperma (nuthfah) di tempat khusus yang terlindungi, nuthfah di pancarkan pada ovum wanita, dan di sana nuthfah tersebut tumbuh menjadi alaqoh (perpaduan nuthfah dan ovum wanita) kemudian membelah diri dan berkembang menjadi embrio (mudghoh), dari sini berkembanglah tulang-tulang (izhoman) yang kemudian di balut oleh daging (lahman), setelah masanya dikeluarkan menjadi thiflan atau bayi (kholqon akhor).
Secara biologis manusia itu adalah makhluk yang berkembang menuju terciptanya manusia insan kamil yaitu manusia yang berakhlak Al Quran. Jika manusia karena intelektualnya sudah merasa cukup dan tidak memerlukan apa-apa lagi dari Robb-nya, berarti dia telah memutuskan silah dengan Robb-nya. Sikap seperti ini disebut thogho, yaitu takabur atau sombong karena sudah menjadi makhluk yang mampu berpikir. Kemampuan berpikir bukanlah akhir dari proses perkembangan jiwa manusia. Tujuan akhir menurut program Allah adalah hamba-Nya yaitu manusia yang mengabdi kepada ma’bud nya, yaitu Allah. Fir’aun termasuk orang yang dicap oleh Allah sebagai thogho (idzhab ila fir’auna innahu thogho). Jamak dari thogho adalah thoghut. Jadi istilah thoghut menurut Al Qur’an bukanlah berhala atau patung, tetapi para pamimpin yang tidak mau menerima Al Qur’an sebagai ukuran haq dan bathil, tidak mau menempatkan kitab Allah sebagai ukuran keadilan, hukum, dan jalan yang lurus.
Qs. 4 ayat 60 : “Apakah kamu tidak memperhatikan kepada orang-orang yang merasa dirinya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kamu ( Al Qur’an ) dan kepada kitab sebelum kamu (Taurot dan Injil), namun mereka menghendaki keputusan dari thoghut, sungguh hal yang demikian telah diperintahkan Allah untuk dijauhi, dengan cara demikian mereka telah mengikuti cara syaithan, dan pasti syaithan itu akan menyesatkan mereka ke dalam lembah kesesatan yang amat jauh.
Gaya kehidupan yang menjadi kedaulatan warga Mekkah adalah demikian. Sesungguhnya mereka itu telah merasa dirinya muslim-mukmin, mereka bukan saja telah melakukan ibadah haji, bahkan sudah menjadi imaroh haji atau amirul haji, namun corak kehidupannya dariivat atau sekuler. Jika mereka berkumpul atau bermusyawarah dalam masalah mu’amalah (ekonomi, politik, hukum dan kebudayaan) yang digunakan sebagai acuan adalah teori-teori yang dikarang oleh orang-orang besar mereka. Ayat-ayat kitab yang ada dalam Taurot, Injil dan shuhuf Ibrahim tidak mendapat tempat dalam Darun Nadwah itu. Dengan demikian dalam dunia politik, ekonomi, hukum dan sosial lepas sama sekali dari nilai / moral wahyu Allah yang terdapat dalam kitab-kitab yang menjadi dasar agama. Oleh sebab itu, dalam melakukan aktivitas mu’amalah yaitu politik, ekonomi, hukum dan budaya mereka tidak merasa terikat. Ilmu, ruang kerjanya adalah rasio dan akal, sedang dalam dunia akal tidak perlu kaidah moral. Oleh sebab itu jangan heran jika dalam dunia politik yang berlaku adalah kelicikan yang penuh trik-trik kekuasaan yang lepas dari nilai kemanusiaan, ilmu tidak mampu menyentuh daerah akhlak, maka yang berlaku dalam dunia ekonomi adalah hukum ekonomi yang berdasarkan pada pertimbangan untung rugi. Nilai-nilai ihsan yaitu naluri berbuat baik kepada orang lain menjadi lumpuh, ikatan persahabatan ditabrak, bahkan saudara searham diputus habis. Jika dalam bidang hukum, manusia lepas hubungan tanggung jawabnya kepada Allah yang menciptakan dirinya, maka sang hakim dapat mempermainkan hukum untuk kepentingan hawa nafsunya.
Tugas Muhammad adalah untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang demikian, dan kemudian mengajak kepada corak kehidupan yang tauhid yaitu Islam sebagai dien yang ditetapkan Allah, fitrahnya manusia yang akan membawanya ke dalam kehidupan yang berdasarkan hukum, keadilan, kedamaian, kesejahteraan dan keselamatan dunia maupun akhirat.
Semoga kita semua bisa mengambil ibroh dari riwayat hidup Muhammad dalam memahami hakikat sesungguhnya dari din Islam.
Aamiin ....
Sumber : Al Quran, Hadits dan Siroh Nabi Muhammad Saw
Hadits
Permulaan Turunnya Wahyu Kepada nabi Muhammad SAW
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّهَا قَالَتْ
أَوَّلُ مَا بُدِئَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْوَحْيِ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ فِي النَّوْمِ فَكَانَ لَا يَرَى رُؤْيَا إِلَّا جَاءَتْ مِثْلَ فَلَقِ الصُّبْحِ ثُمَّ حُبِّبَ إِلَيْهِ الْخَلَاءُ وَكَانَ يَخْلُو بِغَارِ حِرَاءٍ فَيَتَحَنَّثُ فِيهِ وَهُوَ التَّعَبُّدُ اللَّيَالِيَ ذَوَاتِ الْعَدَدِ قَبْلَ أَنْ يَنْزِعَ إِلَى أَهْلِهِ وَيَتَزَوَّدُ لِذَلِكَ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى خَدِيجَةَ فَيَتَزَوَّدُ لِمِثْلِهَا حَتَّى جَاءَهُ الْحَقُّ وَهُوَ فِي غَارِ حِرَاءٍ فَجَاءَهُ الْمَلَكُ فَقَالَ اقْرَأْ قَالَ مَا أَنَا بِقَارِئٍ قَالَ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الْجَهْدَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ اقْرَأْ قُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّانِيَةَ حَتَّى بَلَغَ مِنِّي الْجَهْدَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ اقْرَأْ فَقُلْتُ مَا أَنَا بِقَارِئٍ فَأَخَذَنِي فَغَطَّنِي الثَّالِثَةَ ثُمَّ أَرْسَلَنِي فَقَالَ
{ اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ }
فَرَجَعَ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْجُفُ فُؤَادُهُ فَدَخَلَ عَلَى خَدِيجَةَ بِنْتِ خُوَيْلِدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَقَالَ زَمِّلُونِي زَمِّلُونِي فَزَمَّلُوهُ حَتَّى ذَهَبَ عَنْهُ الرَّوْعُ فَقَالَ لِخَدِيجَةَ وَأَخْبَرَهَا الْخَبَرَ لَقَدْ خَشِيتُ عَلَى نَفْسِي فَقَالَتْ خَدِيجَةُ كَلَّا وَاللَّهِ مَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ وَتَقْرِي الضَّيْفَ وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ فَانْطَلَقَتْ بِهِ خَدِيجَةُ حَتَّى أَتَتْ بِهِ وَرَقَةَ بْنَ نَوْفَلِ بْنِ أَسَدِ بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى ابْنَ عَمِّ خَدِيجَةَ وَكَانَ امْرَأً قَدْ تَنَصَّرَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ يَكْتُبُ الْكِتَابَ الْعِبْرَانِيَّ فَيَكْتُبُ مِنْ الْإِنْجِيلِ بِالْعِبْرَانِيَّةِ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكْتُبَ وَكَانَ شَيْخًا كَبِيرًا قَدْ عَمِيَ فَقَالَتْ لَهُ خَدِيجَةُ يَا ابْنَ عَمِّ اسْمَعْ مِنْ ابْنِ أَخِيكَ فَقَالَ لَهُ وَرَقَةُ يَا ابْنَ أَخِي مَاذَا تَرَى فَأَخْبَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَبَرَ مَا رَأَى فَقَالَ لَهُ وَرَقَةُ هَذَا النَّامُوسُ الَّذِي نَزَّلَ اللَّهُ عَلَى مُوسَى يَا لَيْتَنِي فِيهَا جَذَعًا لَيْتَنِي أَكُونُ حَيًّا إِذْ يُخْرِجُكَ قَوْمُكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَمُخْرِجِيَّ هُمْ قَالَ نَعَمْ لَمْ يَأْتِ رَجُلٌ قَطُّ بِمِثْلِ مَا جِئْتَ بِهِ إِلَّا عُودِيَ وَإِنْ يُدْرِكْنِي يَوْمُكَ أَنْصُرْكَ نَصْرًا مُؤَزَّرًا ثُمَّ لَمْ يَنْشَبْ وَرَقَةُ أَنْ تُوُفِّيَ وَفَتَرَ الْوَحْيُ
قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَأَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيَّ قَالَ وَهُوَ يُحَدِّثُ عَنْ فَتْرَةِ الْوَحْيِ فَقَالَ فِي حَدِيثِهِ بَيْنَا أَنَا أَمْشِي إِذْ سَمِعْتُ صَوْتًا مِنْ السَّمَاءِ فَرَفَعْتُ بَصَرِي فَإِذَا الْمَلَكُ الَّذِي جَاءَنِي بِحِرَاءٍ جَالِسٌ عَلَى كُرْسِيٍّ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ فَرُعِبْتُ مِنْهُ فَرَجَعْتُ فَقُلْتُ زَمِّلُونِي زَمِّلُونِي فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى
{ يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ قُمْ فَأَنْذِرْ إِلَى قَوْلِهِ وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ }
فَحَمِيَ الْوَحْيُ وَتَتَابَعَ تَابَعَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ وَأَبُو صَالِحٍ وَتَابَعَهُ هِلَالُ بْنُ رَدَّادٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ وَقَالَ يُونُسُ وَمَعْمَرٌ بَوَادِرُهُ
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair berkata, Telah menceritakan kepada kami dari Al Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihab dari 'Urwah bin Az Zubair dari Aisyah -Ibu Kaum Mu'minin-, bahwasanya dia berkata: "Permulaaan wahyu yang datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah dengan mimpi yang benar dalam tidur. Dan tidaklah Beliau bermimpi kecuali datang seperti cahaya subuh. Kemudian Beliau dianugerahi kecintaan untuk menyendiri, lalu Beliau memilih gua Hiro dan bertahannuts yaitu 'ibadah di malam hari dalam beberapa waktu lamanya sebelum kemudian kembali kepada keluarganya guna mempersiapkan bekal untuk bertahannuts kembali. Kemudian Beliau menemui Khadijah mempersiapkan bekal. Sampai akhirnya datang Al Haq saat Beliau di gua Hiro, Malaikat datang seraya berkata: "Bacalah?" Beliau menjawab: "Aku tidak bisa baca". Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjelaskan: Maka Malaikat itu memegangku dan memelukku sangat kuat kemudian melepaskanku dan berkata lagi: "Bacalah!" Beliau menjawab: "Aku tidak bisa baca". Maka Malaikat itu memegangku dan memelukku sangat kuat kemudian melepaskanku dan berkata lagi: "Bacalah!". Beliau menjawab: "Aku tidak bisa baca". Malaikat itu memegangku kembali dan memelukku untuk ketiga kalinya dengan sangat kuat lalu melepaskanku, dan berkata lagi: (Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah)." Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kembali kepada keluarganya dengan membawa kalimat wahyu tadi dalam keadaan gelisah. Beliau menemui Khadijah binti Khawailidh seraya berkata: "Selimuti aku, selimuti aku!". Beliau pun diselimuti hingga hilang ketakutannya. Lalu Beliau menceritakan peristiwa yang terjadi kepada Khadijah: "Aku mengkhawatirkan diriku". Maka Khadijah berkata: "Demi Allah, Allah tidak akan mencelakakanmu selamanya, karena engkau adalah orang yang menyambung silaturrahim." Khadijah kemudian mengajak Beliau untuk bertemu dengan Waroqoh bin Naufal bin Asad bin Abdul 'Uzza, putra paman Khadijah, yang beragama Nasrani di masa Jahiliyyah, dia juga menulis buku dalam bahasa Ibrani, juga menulis Kitab Injil dalam Bahasa Ibrani dengan izin Allah. Saat itu Waroqoh sudah tua dan matanya buta. Khadijah berkata: "Wahai putra pamanku, dengarkanlah apa yang akan disampaikan oleh putra saudaramu ini". Waroqoh berkata: "Wahai putra saudaraku, apa yang sudah kamu alami". Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menuturkan peristiwa yang dialaminya. Waroqoh berkata: "Ini adalah Namus, seperti yang pernah Allah turunkan kepada Musa. Duhai seandainya aku masih muda dan aku masih hidup saat kamu nanti diusir oleh kaummu". Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya: "Apakah aku akan diusir mereka?" Waroqoh menjawab: "Iya. Karena tidak ada satu orang pun yang datang dengan membawa seperti apa yang kamu bawa ini kecuali akan disakiti (dimusuhi). Seandainya aku ada saat kejadian itu, pasti aku akan menolongmu dengan sekemampuanku". Waroqoh tidak mengalami peristiwa yang diyakininya tersebut karena lebih dahulu meninggal dunia pada masa fatroh (kekosongan) wahyu. Ibnu Syihab berkata; telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa Jabir bin Abdullah Al Anshari bertutur tentang kekosongan wahyu, sebagaimana yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ceritakan: "Ketika sedang berjalan aku mendengar suara dari langit, aku memandang ke arahnya dan ternyata Malaikat yang pernah datang kepadaku di gua Hiro, duduk di atas kursi antara langit dan bumi. Aku pun ketakutan dan pulang, dan berkata: "Selimuti aku. Selimuti aku". Maka Allah Ta'ala menurunkan wahyu: (Wahai orang yang berselimut) sampai firman Allah (dan berhala-berhala tinggalkanlah). Sejak saat itu wahyu terus turun berkesinambungan." Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abdullah bin Yusuf dan Abu Shalih juga oleh Hilal bin Raddad dari Az Zuhri. Dan Yunus berkata; dan Ma'mar menyepakati bahwa dia mendapatkannya dari Az Zuhri.
0 komentar:
Posting Komentar