BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Fiqih Siyasah ada dan berkembang sejak Islam menjadi pusat
kekuasaan dunia. Perjalanan hijrahnya Rasullulah ke Madinah, penyusunan Piagam
Madinah, pembentukan pembendaharaan Negara, pembuatan perjanjian perdamaian, penetapan
Imamah, taktik pertahanan Negara dari serangan musuh yang lainnya.
Kemaslahatan masyarakat, umat, dan bangsa, dan kemudian pada
masa itu semua dipandang sebagai upaya-upaya siyasah dalam mewujudkan Islam
sebagai ajaran yang adil, memberi makna bagi kehidupan dan menjadi rahmat bagi
seluruh alam. Semua proses tersebut merupakan langkah awal berkembangnya kajian
fiqih siyasah, dimana fiqih siyasah menerima apa yang datang dari luar selama
itu untuk kemaslahatan bagi kehidupan umat. Bahkan menjadikannya sebagai unsur
yang akan bermanfaat dan akan menambah dinamika kehidupannya.
Luasnya pembahasan tentang kajian fiqih siyasah, maka
pemakalah hanya mengkaji tema dengan mengangkat judul yakni “Fiqh Dauly”. Yang
mana akan membahas mengenai hubungan internasional, seperti teritorial, dan
lain sebagainya.
Oleh karena itu, Kritik dan saran sangat diharapkan dari teman-teman
semuanya agar kedepannya dapat menyelesaikan tugas dengan lebih baik lagi.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian fiqh dauly dan apa saja ruang lingkupnya?
2. Apa dasar-dasar siyasah
dauliyah?
3. Apa saja pembagian dari
siyasah dauliyah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Siyasah Dawliyah
Dawliyah bermakna tentang daulat, kerajaan, kekuasaan,
wewenang, serta kekuasaan. Sedangkan Siyasah Dawliyah bermakna sebagai
kekuasaan kepala negara untuk mengatur negara dalam hal hubungan internasional,
masalah territorial, nasionalitas, ekstradisi tahanan, pengasingan tawanan
politik, pengusiran warga negara asing.
Dari pengertian diatas dapat dilihat bahwa Siyasah Dawliyah
lebih mengarah pada pengaturan masalah kenegaraan yang bersifat luar negeri,
serta kedaulatan negara. Hal ini sangat penting guna kedaulatan negara untuk
pengakuan dari negara lain.[1]Adapun
orientasi masalahnya berkaitan dengan:
- Penentuan situasi damai atau perang (penentuan sifat darurat kolektif)
- Perlakuan terhadap tawanan
- Kewajiban suatu negara terhadap negara lain
- Aturan dalam perjanjian Internasioanal
- Aturan dalam pelaksanaan peperangan
B.
Ruang Lingkup Fiqh Siyasah Dawliyah
Dasar-dasar
yang dijadikan landasan para ulama di dalam siyasah dauliyah dan dijadikan
ukuran apakah siyasah dauliyah berjalan sesuai dengan semangat Al-Islam atau
tidak, adalah :
1.
Kesatuan Umat Islam
Meskipun
kita berbeda suku bangsa, berbeda warna kulit, berbedaTanah Air, bahkan berbeda
agama, akan tetapi merupakan satu kesatuan manusia karena sama-sama makhluk
Allah. Dengan demikian, maka perbedaan-perbedaan diantara manusia harus
disikapi dengan pikiran positif untuk saling memberikan kelebihan masing-masing
dan saling menutupi kekurangan masing-masing. Al-Qur’an banyak mengisyaratkan
kesatuan manusia ini, antara lain dinyatakan dalam QS. Al-Baqarah : 213
Artinya : ” Manusia adalah umat yang satu .”
Artinya : “ Wahai manusia bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakanmu dari diri yang satu ( Adam ) dan daripadanya Allah menciptakan
pasanganya ( Hawa ) dan dari keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan
wanita yang banyak.” QS. An-Nisa’ :
1
Untuk
menetralisir dampak negatif dari kemajemukan kepentingan budaya manusia supaya
tidak berkembang menjadi ancaman bagi persatuan dan kesatuan manusia disatu
sisi lain memperkokoh dan menghargai ukhuwa insaniyah, maka muncul dasar
keadilan, persamaan, kemanusiaan, toleransi, kerja sama, kemerdekaan, dan
perilaku moral yang baik.
2.
Al-‘Adalah ( Keadilan )
Di
dalam siyasah dauliyah, hidup berdampingan dengan damai baru terlaksana apabila
didasarkan kepada keadilan baik diantar` manusia maupun diantara berbagai
Negara, bahkan perangpun terjadi karena salah satu pihak merasa diperlakukan
dengan tidak adil. Oleh karena itu, ajaran islam mewajibkan penegakan keadilan
baik terhadap diri sendiri, keluarganya, tetangganya, bahkan terhadap musuh
sekalipun kita bertindak adil. Banyak ayat-ayat yang berbicara tentang keadilan
antara lain:
وَلَا يَجْرِمَنَكُم شَناَ نُ قَوْمٍ عَلَى
ألَاَ تَعْدِلُوْا اِعْدِلُوا هُوَ أقْرَبُ لِلتَقْوَى
“ dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adilah
karena berlaku adil itu lebih dekat kepada taqwa”.
Hal ini mengisyaratkan agar kebencian dan kecintaan
yang berlebihan tidak menyebabkan ketidakadilan.
3.
Al-Musawah (
Persamaan )
Manusia memiliki hak-hak kemanusiaan yang sama, untuk
mewujudkan adalah mempersamakan manusia dihadapan hukum kerjasama internasional
sulit dilaksanakan apabila tidak didalam kesederajatan antarnegara dan
antarbangsa.
Demikian pula setiap manusia adalah subyek hukum,
penanggung hak dan kewajiban yang sama. Semangat dari Al-Qur’an dan Hadis Nabi
serta perilaku para sahabat yang membebaskan budak adalah untuk mewujudkan persamaan kemanusiaan ini. Karena perbudakan meninjukkan
adanya ketidaksederajatan kemanusiaan. Uraian tentang perbudakan yang tidak
dikehendaki oleh islam dengan baik antara lain telah ditulis oleh Amir Ali. Hak
hidup dan hak memiliki dan kehormatan kemanusiaan harus sama-sama dihormati dan
dilindungi, satu-satunya ukuran kelebihan manusia terhadap manusia lainnya
adalah ketaqwaannya. QS.an-Nisa’ : 24
Adapun perbedaan-perbedaan diantara manusia adalah
perbedaan tugas posisi dan fungsi masing-masing didalam kiprah kehidupan
manusia di dunia ini, bisa disimpulkan bahwa al-ashlu fi al-insaniyah
al-musawah, yang berarti “ hukum asal di dalam kemanusiaan adalah sama “
4.
Karomah
Insaniyah ( Kehormatan Manusia )
Karena kehormatan manusia inilah, maka manusia tidak
boleh merendahkan manusia lainnya dan suatu kaum tidak boleh menghina kaum
lainnya. Kehormatan kemanusiaan ini berkembang menjadi kehormatan terhadap
suatu kaum dan komunitas dan bisa dikembangkan menjadi suatu kehormatan suatu
bangsa atau Negara. Kerja sama internasional tidak mungkin dikembangkan tanpa
landasan saling hormat-menghormati. Kehormatan kemanusiaan inilah pada
gilirannya menumbuhkan harga diri yang wajar baik individu mupun pada
komunitas, muslim ataupun nonmuslim tanpa harus jatuh kepad kesombongan
individual atau nasionalisme yang ekstrem. Banyak ayat dan Hadis tentang hal
ini di antaranya :
Artinya :” Sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam ( manusia ).” QS. Al- Isra’ : 70
Hadis yang artinya:
“ Wahai orang-orang yang beriman janganlah satu kaum mengolok-olokan
kaum lainnya, bisajadi yang mengolok-olokkan lebih baik dari yang
mengolok-olokkan, dan jangan pula wanita-wanita mengolok-olokkan wanita lain
bisa jadi mereka yang lebih baik, dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan
jaganlah kamu memanggil dengan panggilan yang buruk.
Ayat diatas menunjukan bahwa mencela dan merendahkan
manusia lain sama dengan mencela dan merendahkan diri sendiri.
5.
Tasamuh (
Toleransi )
Dasar ini tidak mengandung arti harus menyerah kepada
kejahatan atau member peluang kepada kejahatan. Allah mewajibkan menolak
permusuhan dengan tindakan yang lebih baik, penolakan dengan yang lebih baik
akan menimbulkan persahabatan bila dilakukan pada tempatnya setidaknya akan
menetralisir ketegangan.
QS.al-Araf : 199
Artinya : “ Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang
makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”.
Sifat pemaaf merupakan sesuatu yang sangat terpuji dan
sebaliknya sifat dendam merupakan suatu sifat yang tercela, pemaaf yang baik
adalah pemaaf disertai dengan harga diri yang wajar dan bukan pemaaf dalam arti
menyerah atau merendahkan diri terhadap kejahatan-kejahatan.
6.
Kerja sama
kemanusiaan
Kerjasama kemanusiaan ini adalah realisasi dari
dasar-dasar yang telah dikemukakan di atas, kerja sama disini adalah kerjasama
disetiap wilayah dan lingkungan kemanusiaan, kerjasama ini diperlukan karena,
adanya saling ketergantungan baik antara individu maupun antar Negara dunia
ini.
Allah akan memberi kekuatan pada orang yang mau menolong pada
sesama manusia dimana saja. Nabi bersabda: “ Allah akan selalu menolong
hambaNYA selama hambanya tidak menolong saudaranya” . hadist ini
mengisyaratkan nilai kemanusiaan yang
sangat tinggi, dari hadist ini juga tercermin adanya ukuwah insaniyah.
Kesadaran akan perlunya kerjasama dan tolong menolong dalam segala bentuk dan
cara yang disepakati yang baik, akan menghilangkan nafsu permusuhan, dan saling
berebut hidup. Kehidupan indiidu dan antar bangsa akan harmonis apabila
didasarkan pada kerjasama, bukan pada saling menghancurkan yang satu terhadap
yang lain.
7.
Kebebasan,
Kemerdekaan/ Al-Huriyah
Kemerdekaan yang sesungguhnya dimulai dari pembebasan
diri dari pengaruh hawa nafsu serta mengendalikannya dibawah bimbingan keimanan
dan akal sehat. Dengan demikian, kebebasan bukanlah kebebasan yang mutlak, akan
tetapi kebebasan yang bertanggung jawab kepada Allah, terhadap keselamatan dan
kemaslahatan hidup manusia di muka bumi, kebebasan ini dapat dirinci lebih jauh
seperti :
a. Kebebasan berfikir,
b. Kebebasan beragama,
c. Kebebasan menyatakan pendapat,
d. Kebebasan menuntut ilmu, dan
e. Kebebasan memiliki harta.
8.
Perilaku
Moral yang Baik ( Al-Akhlak al-Karimah )
Perilaku yang baik merupakan dasar moral di dalam
hubungan antara manusia, antra umat dan antara bangsa di dunia ini, selain itu
prinsip ini pun diterapkan seluruh
makhluk Allah dimuka bumi, termasuk flora dan fauna, alam nabati, dan
alam hewani, budi baik ini tercermin antara lain di dalam kasih saying seperti
yang ditegaskan di dalam Hadis Nabi :
أ رحموا أهل الأرض يرحمكم من في
السما ء (رواه أبوداود)
“ Kasih sayangilah yang dibumi, Allah SWT akan
menyayangimu.”
Memiliki kepedulian terhadap orang-orang yang lemah,
termasuk bangsa yang lemah dan miskin.
Serta mau menepati janji. Allah berfirman :
ياأيهاالّذين ءامنوا أوفوا بالعقود
“ Wahai orang-orang beriman tepatilah
perjanjian-perjanjianmu. “
Seperti yang telah dikemukakan bahwa salah satu sumber
hubungan internasional itu adalah perjanjian antarbangsa. Apabila perjanjian
yang telah disahkan dan dibuat kemudian tidak ditepati, maka kepercayaan akan
hilang. Dan apabila sudah terjadi krisis kepercayaan, maka malapetakal`h yang
akan muncul.
Inilah
dasar-dasar siyasah di dalam hubungan internasional atau siyasah dauliyah,
dasar-dasar tersebut semuanya mengacu kepada manusia sebagai satu kesatuan umat
manusia, atau dengan kata lain dasar-dasar tersebut dalam rangka hifdzu
al-Ummah dalam ruang lingkupnya yang paling luas yaitu seluruh manusia yang di
ikat oleh rasa ukhwah insaniyah di samping umat dalam arti komunitas adalah
keluarga sakinah.
C. Pembagian
Fiqh Siyasah Dawliyah
1.
Hubungan Islam Dalam waktu Damai
Sebagai agama yang menjunjung kedamaian, Islam lebih mengutamakan
perdamaian dan kerja sama dengan beberapa Negara mana saja. Islam diturunkan
sebagai rahmat untuk alam semesta, karena itu Allah tidak membenarkan ummat
Islam melakukan peperangan, apalagi mengekspansi Negara lain kecuali dalam kondisi
sangat terdesak dan membela diri.[2]
Konsekuensi dari asas bahwa hubungan
internasional dalam Isalm adalah perdamaian saling membantu dalam kebaikan,
maka :
1. Perang tidak dilakukan kecuali dalam keadaan darurat,
2. Orang yang tidak ikut berperang tidak boleh diperlakukan sebagai musuh,
3. Segera menghentikan perang apabila salah satu pihak cenderung kepada
damai, dan
4. Memperlakukan tawanan perang dengan cara manusiawi.
·
Kewajiban Suatu
Negara Terhadap Negara Lain
Seperti yang telah dinyatakan di muka bahwa asas
hubungan internasional adalah perdamaian dan saling membantu dalam kebaikan.
Seperti yang diketahui pula, subyek hokum dalam siyasah dauliyah adalah Negara.
Apabila subjek hokum di dalam siyasah dauliyah itu adalah Negara, maka sudah
tentu sebagai subjek hokum Negara memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Kewajiban
terpenting adalah menghormati hak-hak Negara yang lain dan melaksanakan
perjanjian yang telah dibuatnya.
Terdapat ayat dalam Al-Qur’an yang mewajibkan kita
berbuat baik kepada tetangga termasuk di dalamnya menghormati hak-haknya :
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukannya dengan sesuatu, dan
berbuat baiklah kepada orang tua dan kepada kerabat karib serta anak-anak yatim
dan orang-orang miskin dan kepada tetangga dekat dan jauh, dan kepada teman
sejawat dan kepada ibnu sabil dan hamba sahaya. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.
·
Perjanjian-Perjanjian
Internasional
v Syarat-syarat mengikat suatu perjanjian :
Suatu perjanjian didalam siyasah dauliyah adalah sah dan mengikat
apabila memenuhi tiga syarat, yakni
a. Yang melakukan perjanjian
memiliki kewenangan. Untuk perjanjian-perjanjian yang mewakili bangsa, maka
kepala negaralah yang memiliki kewenangan.
b. Kerelaan.
c. Isi perjanjian dan objeknya tidak dilarang oleh syariah islamiah.
d. Penulisan Perjanjian
Meskipun tidak dilarang dalam melakukan perjanjian
lisan. Akan tetapi, sudah menjadi tradisi yang baik perjanjian tersebut
dilakukan dengan tertulis. Dengan dituliskannya perjanjian serta masing-masing
pihak telah memiliki dokumen yang sah, dan telah memiliki kekuatan hokum
sebagai alat bukti yang kuat.
v Perjanjian selamanya dan perjanjian sementera. Dilihat dari sisi waktu
perjanjian-perjanjian di dalam hubungan internasional ada yang selamanya dan
ada pula yang sementara.
v Perjanjian terbuka dan perjanjian tertutup,
v Menaati Perjanjian. Kaum muslim wajib menaati perjanjian yang dibuat
baik oleh perorangan ataupun Negara. Selama hal itu tidak menghalalkan yang
haram dan mengharamkan yang halal. Diantara ayat-ayat Al-Qur’an yang mewajibkan
mentaati perjanjian adalah :
QS. Al-Isra’ : 34
Artinya : “ Tepatilah janji-janji itu sesungguhnya itu dimuntai
pertanggung jawabannya. “
v Siyasah auliyah dan orang asing
Seperti telah dikemukakan tentang manusia dipandang
oleh islam sebagai umat yang satu. Mereka sama-sama memiliki hak politik, hak
sipil, dan hak kemanusiaan. Hak-hak politik seperti memilih dan dipilih, hak
menjadi pegawai negeri, atau jabatan-jabatan untuk kemaslahatan umum. Hak
sipil, seperti pernikahan, perdagangan, dan pekerjaan, sedangkan hak-hak
kemanusiaan seperti kebebasan memeluk agama, hak menepati tempat umum dan hak
menuntut dipengadilan.
2.
Hubungan Internasional Dalam Waktu Perang
Perang adalah sesuatu yang tidak disukai manusia. Begitupun
Al-qur’an mengajarkan demikian. Namun demikian, Al-qur’an juga menyatakan boleh
jadi di balik sesuatu yang tidak disukai terdapat kebaikan yang tidak diketahui
oleh manusia. Karena itu peperangan hanyalah boleh dilakukan dalam keadaan
terpaksa.
·
Adapun sebab-sebab terjadinya perang antara lain:
- Perang dalam Islam untuk mempertahankan diri
- Perang dalam rangka dakwah
·
Sedangkan aturan perang dalam Islam itu sendiri antara lain:
a. Pengumuman perang
Telah diterangkan bahwa islam tidak membenarkan peperangan
yang bertujuan menaklukan suatu negara, atau perluasan wilayah dan mendiktekan
kehendak, perang yang diajarkan dalam islam adalah perang untuk menolak
serangan musuh atau untuk melindungi keamanan dakwah[3].
Penyerangan tiba-tiba tanpa pengumuman dan tanpa suruhan memilih terlebih
dahulu dilarang dalam Islam, sekalipun dalam perang untuk mempertahankan diri.
Oleh karenanya apabila perang dilakukan tanpa memberikan opsi kepada musuh,
maka komandan yang memimpin penyerangan harus bertanggung jawab atas segala
kerugian selama perang.[4]
b. Etika dan aturan perang dalam
siyasah dauliyah
1. Dilarang membunuh anak-anak
2. Dilarang membunuh wanita-wanita yang
tidak ikut perang serta memperkosanya
3. Dilarang membunuh orang yang sudah
tua tersebut tidak ikut berperang
4. Tidak memotong dan merusak
pohon-pohon, sawah, dan ladang
5. Tidak merusak binatang ternak
kecuali untuk dimakan
6. Tidak menghancurkan gereja, biara,
dan tempat beribadat lainnya
7. Dilarang mencincang mayat musuh, bahkan
bangkai binatang tidak boleh dicincang
8. Dilarang membunuh para pendeta dan
para pekerja yang tidak ikut perang
9. Bersikap sabar, berani, dan ikhlas
dalam perang
10. Tidak melampaui batas-batas aturan
hukum dan moral dalam peperangan.[5]
c. Tawanan perang
Adapun yang dimaksud tawanan perang adalah orang-orang yang
tertawan oleh negara yang berperang dan orang-orang tersebut sebagai penerapan
prinsip-prinsip, perlakuan yang sama, seperti yang dilakukan musuh terhadap
tawanan perang yang beragama Islam, yang oleh mereka dijadikan budak. Selain
itu perlakuan terhadap tawanan perang yang dijadikan budak pun harus sama
dengan tawanan-tawanan lain yang dijadikan budak.
Selain itu warga negara musuh yang bertempat tinggal di
negeri muslim, tidak boleh ditangkap, sekalipun sudah terjadi perang, selama
mereka termasuk musta’min (orang yang dijamin kemanannya). Sebagaimana
yang diisyaratkan oleh Al-qur’an:
“Dan jika seorang diantara orang-orang
mussyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah dia, supaya
mereka sempat mendengar kalam Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang
aman baginya.”(At-Taubah
ayat 6).[6]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Apa pengertian fiqh dawly dan apa
saja ruang lingkupnya?
Siyasah Dawliyah adalah kekuasaan kepala negara
untuk mengatur negara dalam hal hubungan internasional, mengenai territorial,
nasionalitas, ekstradisi tahanan, pengasingan tawanan politik, pengusiran warga
negara asing.
2. Apa dasar-dasar siyasah
dauliyah?
Dasar-dasar
siyasah dauliyah antara lain: a.) Kesatuan umat manusia, b.) Keadilan, c.)
Al-Musawah (persamaan), d.) Karomah Insaniyah (Kehormatan
Manusia) e.) Tasamuh (Toleransi), f.) Kerja Sama Kemanusiaan, g.)
Kebebasan, Kemerdekaan/ Al-Huriyah, h.) Perilaku Moral yang baik.
3. Apa saja pembagian dari
siyasah dauliyah?
a. Hubungan internasional dalam waktu
damai
b. Hubungan internasional dalam waktu
perang
DAFTAR PUSTAKA
H.A
Djazuli. 2003. Fiqh Siyasah. Jakarta: Kencana
Iqbal,
Muhammad. 2001. Fiqh Siyasah. Jakarta: Media Pratama
Pulungan,
Suyuthi. 2002. Fiqh Siyasah: Ajaran Sejarah dan Pemikiran. Jakarta:
Grafindo Persada
[1] Suyuthi
Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Grafindo
Persada, 2002), 41.
[2] Muhammad
Iqbal, Fiqh Siyasah, ( Jakarta: Media Pratama, 2001) hal. 238
[3] H.A Djazuli, Fiqh Siyasah, 146.
[4] Ibid
[5] H.A Djazuli,
Fiqh Siyasah. 149-150
0 komentar:
Posting Komentar