Yusuf Jabung
Home » » Hukum Tata Negara Islam

Hukum Tata Negara Islam

 
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Fiqih Siyasah ada dan berkembang sejak Islam menjadi pusat kekuasaan dunia. Perjalanan hijrahnya Rasullulah ke Madinah, penyusunan Piagam Madinah, pembentukan pembendaharaan Negara, pembuatan perjanjian perdamaian, penetapan Imamah, taktik pertahanan Negara dari serangan musuh yang lainnya.
Kemaslahatan masyarakat, umat, dan bangsa, dan kemudian pada masa itu semua dipandang sebagai upaya-upaya siyasah dalam mewujudkan Islam sebagai ajaran yang adil, memberi makna bagi kehidupan dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Semua proses tersebut merupakan langkah awal berkembangnya kajian fiqih siyasah, dimana fiqih siyasah menerima apa yang datang dari luar selama itu untuk kemaslahatan bagi kehidupan umat. Bahkan menjadikannya sebagai unsur yang akan bermanfaat dan akan menambah dinamika kehidupannya.
Luasnya pembahasan tentang kajian fiqih siyasah, maka pemakalah hanya mengkaji tema dengan mengangkat judul yakni “Fiqh Dauly”. Yang mana akan membahas mengenai hubungan internasional, seperti teritorial, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu,  Kritik dan saran sangat diharapkan dari teman-teman semuanya agar kedepannya dapat menyelesaikan tugas dengan lebih baik lagi.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian fiqh dauly dan apa saja ruang lingkupnya?
2.      Apa  dasar-dasar siyasah dauliyah?
3.      Apa saja  pembagian dari siyasah dauliyah?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Siyasah Dawliyah
Dawliyah bermakna tentang daulat, kerajaan, kekuasaan, wewenang, serta kekuasaan. Sedangkan Siyasah Dawliyah bermakna sebagai kekuasaan kepala negara untuk mengatur negara dalam hal hubungan internasional, masalah territorial, nasionalitas, ekstradisi tahanan, pengasingan tawanan politik, pengusiran warga negara asing.
Dari pengertian diatas dapat dilihat bahwa Siyasah Dawliyah lebih mengarah pada pengaturan masalah kenegaraan yang bersifat luar negeri, serta kedaulatan negara. Hal ini sangat penting guna kedaulatan negara untuk pengakuan dari negara lain.[1]Adapun orientasi masalahnya berkaitan dengan:
  1. Penentuan situasi damai atau perang (penentuan sifat darurat kolektif)
  2. Perlakuan terhadap tawanan
  3. Kewajiban suatu negara terhadap negara lain
  4. Aturan dalam perjanjian Internasioanal
  5. Aturan dalam pelaksanaan peperangan
B.     Ruang Lingkup Fiqh Siyasah Dawliyah
Dasar-dasar yang dijadikan landasan para ulama di dalam siyasah dauliyah dan dijadikan ukuran apakah siyasah dauliyah berjalan sesuai dengan semangat Al-Islam atau tidak, adalah :
1.      Kesatuan Umat Islam
Meskipun kita berbeda suku bangsa, berbeda warna kulit, berbedaTanah Air, bahkan berbeda agama, akan tetapi merupakan satu kesatuan manusia karena sama-sama makhluk Allah. Dengan demikian, maka perbedaan-perbedaan diantara manusia harus disikapi dengan pikiran positif untuk saling memberikan kelebihan masing-masing dan saling menutupi kekurangan masing-masing. Al-Qur’an banyak mengisyaratkan kesatuan manusia ini, antara lain dinyatakan dalam QS. Al-Baqarah : 213
 
Artinya : ” Manusia adalah umat yang satu .”
Artinya : “ Wahai manusia bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu ( Adam ) dan daripadanya Allah menciptakan pasanganya ( Hawa ) dan dari keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan wanita yang banyak.” QS. An-Nisa’ : 1
Untuk menetralisir dampak negatif dari kemajemukan kepentingan budaya manusia supaya tidak berkembang menjadi ancaman bagi persatuan dan kesatuan manusia disatu sisi lain memperkokoh dan menghargai ukhuwa insaniyah, maka muncul dasar keadilan, persamaan, kemanusiaan, toleransi, kerja sama, kemerdekaan, dan perilaku moral yang baik.
2.      Al-‘Adalah ( Keadilan )
Di dalam siyasah dauliyah, hidup berdampingan dengan damai baru terlaksana apabila didasarkan kepada keadilan baik diantar` manusia maupun diantara berbagai Negara, bahkan perangpun terjadi karena salah satu pihak merasa diperlakukan dengan tidak adil. Oleh karena itu, ajaran islam mewajibkan penegakan keadilan baik terhadap diri sendiri, keluarganya, tetangganya, bahkan terhadap musuh sekalipun kita bertindak adil. Banyak ayat-ayat yang berbicara tentang keadilan antara lain:
وَلَا يَجْرِمَنَكُم شَناَ نُ قَوْمٍ عَلَى ألَاَ تَعْدِلُوْا اِعْدِلُوا هُوَ أقْرَبُ لِلتَقْوَى
“ dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adilah karena berlaku adil itu lebih dekat kepada taqwa”.
Hal ini mengisyaratkan agar kebencian dan kecintaan yang berlebihan tidak menyebabkan ketidakadilan.
3.      Al-Musawah ( Persamaan )
Manusia memiliki hak-hak kemanusiaan yang sama, untuk mewujudkan adalah mempersamakan manusia dihadapan hukum kerjasama internasional sulit dilaksanakan apabila tidak didalam kesederajatan antarnegara dan antarbangsa.
Demikian pula setiap manusia adalah subyek hukum, penanggung hak dan kewajiban yang sama. Semangat dari Al-Qur’an dan Hadis Nabi serta perilaku para sahabat yang membebaskan budak adalah untuk mewujudkan persamaan kemanusiaan ini. Karena perbudakan meninjukkan adanya ketidaksederajatan kemanusiaan. Uraian tentang perbudakan yang tidak dikehendaki oleh islam dengan baik antara lain telah ditulis oleh Amir Ali. Hak hidup dan hak memiliki dan kehormatan kemanusiaan harus sama-sama dihormati dan dilindungi, satu-satunya ukuran kelebihan manusia terhadap manusia lainnya adalah ketaqwaannya. QS.an-Nisa’ : 24
   
Adapun perbedaan-perbedaan diantara manusia adalah perbedaan tugas posisi dan fungsi masing-masing didalam kiprah kehidupan manusia di dunia ini, bisa disimpulkan bahwa al-ashlu fi al-insaniyah al-musawah, yang berarti “ hukum asal di dalam kemanusiaan adalah sama “
 
4.      Karomah Insaniyah ( Kehormatan Manusia )
Karena kehormatan manusia inilah, maka manusia tidak boleh merendahkan manusia lainnya dan suatu kaum tidak boleh menghina kaum lainnya. Kehormatan kemanusiaan ini berkembang menjadi kehormatan terhadap suatu kaum dan komunitas dan bisa dikembangkan menjadi suatu kehormatan suatu bangsa atau Negara. Kerja sama internasional tidak mungkin dikembangkan tanpa landasan saling hormat-menghormati. Kehormatan kemanusiaan inilah pada gilirannya menumbuhkan harga diri yang wajar baik individu mupun pada komunitas, muslim ataupun nonmuslim tanpa harus jatuh kepad kesombongan individual atau nasionalisme yang ekstrem. Banyak ayat dan Hadis tentang hal ini di antaranya :

Artinya :” Sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam ( manusia ).” QS. Al- Isra’ : 70 
Hadis yang artinya:
“ Wahai orang-orang yang beriman janganlah satu kaum mengolok-olokan kaum lainnya, bisajadi yang mengolok-olokkan lebih baik dari yang mengolok-olokkan, dan jangan pula wanita-wanita mengolok-olokkan wanita lain bisa jadi mereka yang lebih baik, dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan jaganlah kamu memanggil dengan panggilan yang buruk.
Ayat diatas menunjukan bahwa mencela dan merendahkan manusia lain sama dengan mencela dan merendahkan diri sendiri.
5.      Tasamuh ( Toleransi )
Dasar ini tidak mengandung arti harus menyerah kepada kejahatan atau member peluang kepada kejahatan. Allah mewajibkan menolak permusuhan dengan tindakan yang lebih baik, penolakan dengan yang lebih baik akan menimbulkan persahabatan bila dilakukan pada tempatnya setidaknya akan menetralisir ketegangan.
QS.al-Araf : 199
Artinya : “ Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”.
Sifat pemaaf merupakan sesuatu yang sangat terpuji dan sebaliknya sifat dendam merupakan suatu sifat yang tercela, pemaaf yang baik adalah pemaaf disertai dengan harga diri yang wajar dan bukan pemaaf dalam arti menyerah atau merendahkan diri terhadap kejahatan-kejahatan.
6.      Kerja sama kemanusiaan
Kerjasama kemanusiaan ini adalah realisasi dari dasar-dasar yang telah dikemukakan di atas, kerja sama disini adalah kerjasama disetiap wilayah dan lingkungan kemanusiaan, kerjasama ini diperlukan karena, adanya saling ketergantungan baik antara individu maupun antar Negara dunia ini.
Allah akan memberi kekuatan pada orang yang mau menolong pada sesama manusia dimana saja. Nabi bersabda: “ Allah akan selalu menolong hambaNYA selama hambanya tidak menolong saudaranya” . hadist ini mengisyaratkan nilai kemanusiaan  yang sangat tinggi, dari hadist ini juga tercermin adanya ukuwah insaniyah. Kesadaran akan perlunya kerjasama dan tolong menolong dalam segala bentuk dan cara yang disepakati yang baik, akan menghilangkan nafsu permusuhan, dan saling berebut hidup. Kehidupan indiidu dan antar bangsa akan harmonis apabila didasarkan pada kerjasama, bukan pada saling menghancurkan yang satu terhadap yang lain.
7.      Kebebasan, Kemerdekaan/ Al-Huriyah
Kemerdekaan yang sesungguhnya dimulai dari pembebasan diri dari pengaruh hawa nafsu serta mengendalikannya dibawah bimbingan keimanan dan akal sehat. Dengan demikian, kebebasan bukanlah kebebasan yang mutlak, akan tetapi kebebasan yang bertanggung jawab kepada Allah, terhadap keselamatan dan kemaslahatan hidup manusia di muka bumi, kebebasan ini dapat dirinci lebih jauh seperti :
a.       Kebebasan berfikir,
b.      Kebebasan beragama,
c.       Kebebasan menyatakan pendapat,
d.      Kebebasan menuntut ilmu, dan
e.       Kebebasan memiliki harta.
8.      Perilaku Moral yang Baik ( Al-Akhlak al-Karimah )
Perilaku yang baik merupakan dasar moral di dalam hubungan antara manusia, antra umat dan antara bangsa di dunia ini, selain itu prinsip ini pun diterapkan seluruh  makhluk Allah dimuka bumi, termasuk flora dan fauna, alam nabati, dan alam hewani, budi baik ini tercermin antara lain di dalam kasih saying seperti yang ditegaskan di dalam Hadis Nabi :
أ رحموا أهل الأرض يرحمكم من في السما ء (رواه أبوداود)
“ Kasih sayangilah yang dibumi, Allah SWT akan menyayangimu.”
Memiliki kepedulian terhadap orang-orang yang lemah, termasuk bangsa yang lemah dan miskin.
Serta mau menepati janji. Allah berfirman :
ياأيهاالّذين ءامنوا أوفوا بالعقود
“ Wahai orang-orang beriman tepatilah perjanjian-perjanjianmu. “
Seperti yang telah dikemukakan bahwa salah satu sumber hubungan internasional itu adalah perjanjian antarbangsa. Apabila perjanjian yang telah disahkan dan dibuat kemudian tidak ditepati, maka kepercayaan akan hilang. Dan apabila sudah terjadi krisis kepercayaan, maka malapetakal`h yang akan muncul.
Inilah dasar-dasar siyasah di dalam hubungan internasional atau siyasah dauliyah, dasar-dasar tersebut semuanya mengacu kepada manusia sebagai satu kesatuan umat manusia, atau dengan kata lain dasar-dasar tersebut dalam rangka hifdzu al-Ummah dalam ruang lingkupnya yang paling luas yaitu seluruh manusia yang di ikat oleh rasa ukhwah insaniyah di samping umat dalam arti komunitas adalah keluarga sakinah.
C.    Pembagian Fiqh Siyasah Dawliyah
1.      Hubungan Islam Dalam waktu Damai
Sebagai agama yang menjunjung kedamaian, Islam lebih mengutamakan perdamaian dan kerja sama dengan beberapa Negara mana saja. Islam diturunkan sebagai rahmat untuk alam semesta, karena itu Allah tidak membenarkan ummat Islam melakukan peperangan, apalagi mengekspansi Negara lain kecuali dalam kondisi sangat terdesak dan membela diri.[2]
Konsekuensi dari asas bahwa hubungan internasional dalam Isalm adalah perdamaian saling membantu dalam kebaikan, maka :
1.      Perang tidak dilakukan kecuali dalam keadaan darurat,
2.      Orang yang tidak ikut berperang tidak boleh diperlakukan sebagai musuh,
3.      Segera menghentikan perang apabila salah satu pihak cenderung kepada damai, dan
4.      Memperlakukan tawanan perang dengan cara manusiawi.
·         Kewajiban Suatu Negara Terhadap Negara Lain
Seperti yang telah dinyatakan di muka bahwa asas hubungan internasional adalah perdamaian dan saling membantu dalam kebaikan. Seperti yang diketahui pula, subyek hokum dalam siyasah dauliyah adalah Negara. Apabila subjek hokum di dalam siyasah dauliyah itu adalah Negara, maka sudah tentu sebagai subjek hokum Negara memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Kewajiban terpenting adalah menghormati hak-hak Negara yang lain dan melaksanakan perjanjian yang telah dibuatnya.
Terdapat ayat dalam Al-Qur’an yang mewajibkan kita berbuat baik kepada tetangga termasuk di dalamnya menghormati hak-haknya : Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukannya dengan sesuatu, dan berbuat baiklah kepada orang tua dan kepada kerabat karib serta anak-anak yatim dan orang-orang miskin dan kepada tetangga dekat dan jauh, dan kepada teman sejawat dan kepada ibnu sabil dan hamba sahaya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.
·         Perjanjian-Perjanjian Internasional
v  Syarat-syarat mengikat suatu perjanjian :
Suatu perjanjian didalam siyasah dauliyah adalah sah dan mengikat apabila memenuhi tiga syarat, yakni
a.       Yang melakukan  perjanjian memiliki kewenangan. Untuk perjanjian-perjanjian yang mewakili bangsa, maka kepala negaralah yang memiliki kewenangan.
b.      Kerelaan.
c.       Isi perjanjian dan objeknya tidak dilarang oleh syariah islamiah.
d.      Penulisan Perjanjian
Meskipun tidak dilarang dalam melakukan perjanjian lisan. Akan tetapi, sudah menjadi tradisi yang baik perjanjian tersebut dilakukan dengan tertulis. Dengan dituliskannya perjanjian serta masing-masing pihak telah memiliki dokumen yang sah, dan telah memiliki kekuatan hokum sebagai alat bukti yang kuat.
v  Perjanjian selamanya dan perjanjian sementera. Dilihat dari sisi waktu perjanjian-perjanjian di dalam hubungan internasional ada yang selamanya dan ada pula yang sementara.
v  Perjanjian terbuka dan perjanjian tertutup,
v  Menaati Perjanjian. Kaum muslim wajib menaati perjanjian yang dibuat baik oleh perorangan ataupun Negara. Selama hal itu tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Diantara ayat-ayat Al-Qur’an yang mewajibkan mentaati perjanjian adalah :
QS. Al-Isra’ : 34
 
Artinya : “ Tepatilah janji-janji itu sesungguhnya itu dimuntai pertanggung jawabannya. “
v  Siyasah auliyah dan orang asing
Seperti telah dikemukakan tentang manusia dipandang oleh islam sebagai umat yang satu. Mereka sama-sama memiliki hak politik, hak sipil, dan hak kemanusiaan. Hak-hak politik seperti memilih dan dipilih, hak menjadi pegawai negeri, atau jabatan-jabatan untuk kemaslahatan umum. Hak sipil, seperti pernikahan, perdagangan, dan pekerjaan, sedangkan hak-hak kemanusiaan seperti kebebasan memeluk agama, hak menepati tempat umum dan hak menuntut dipengadilan.
2.      Hubungan Internasional Dalam Waktu Perang
Perang adalah sesuatu yang tidak disukai manusia. Begitupun Al-qur’an mengajarkan demikian. Namun demikian, Al-qur’an juga menyatakan boleh jadi di balik sesuatu yang tidak disukai terdapat kebaikan yang tidak diketahui oleh manusia. Karena itu peperangan hanyalah boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa.
·         Adapun sebab-sebab terjadinya perang antara lain:
  1. Perang dalam Islam untuk mempertahankan diri
  2. Perang dalam rangka dakwah
·         Sedangkan aturan perang dalam Islam itu sendiri antara lain:
a.       Pengumuman perang
Telah diterangkan bahwa islam tidak membenarkan peperangan yang bertujuan menaklukan suatu negara, atau perluasan wilayah dan mendiktekan kehendak, perang yang diajarkan dalam islam adalah perang untuk menolak serangan musuh atau untuk melindungi keamanan dakwah[3]. Penyerangan tiba-tiba tanpa pengumuman dan tanpa suruhan memilih terlebih dahulu dilarang dalam Islam, sekalipun dalam perang untuk mempertahankan diri. Oleh karenanya apabila perang dilakukan tanpa memberikan opsi kepada musuh, maka komandan yang memimpin penyerangan harus bertanggung jawab atas segala kerugian selama perang.[4]
b.      Etika dan aturan perang dalam siyasah dauliyah
1.      Dilarang membunuh anak-anak
2.      Dilarang membunuh wanita-wanita yang tidak ikut perang serta memperkosanya
3.      Dilarang membunuh orang yang sudah tua tersebut tidak ikut berperang
4.      Tidak memotong dan merusak pohon-pohon, sawah, dan ladang
5.      Tidak merusak binatang ternak kecuali untuk dimakan
6.      Tidak menghancurkan gereja, biara, dan tempat beribadat lainnya
7.      Dilarang mencincang mayat musuh, bahkan bangkai binatang tidak boleh dicincang
8.      Dilarang membunuh para pendeta dan para pekerja yang tidak ikut perang
9.      Bersikap sabar, berani, dan ikhlas dalam perang
10.  Tidak melampaui batas-batas aturan hukum dan moral dalam peperangan.[5]
c.       Tawanan perang
Adapun yang dimaksud tawanan perang adalah orang-orang yang tertawan oleh negara yang berperang dan orang-orang tersebut sebagai penerapan prinsip-prinsip, perlakuan yang sama, seperti yang dilakukan musuh terhadap tawanan perang yang beragama Islam, yang oleh mereka dijadikan budak. Selain itu perlakuan terhadap tawanan perang yang dijadikan budak pun harus sama dengan tawanan-tawanan lain yang dijadikan budak.
Selain itu warga negara musuh yang bertempat tinggal di negeri muslim, tidak boleh ditangkap, sekalipun sudah terjadi perang, selama mereka termasuk musta’min (orang yang dijamin kemanannya). Sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-qur’an:
  
 “Dan jika seorang diantara orang-orang mussyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah dia, supaya mereka sempat mendengar kalam Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya.”(At-Taubah ayat 6).[6]

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Apa pengertian fiqh dawly dan apa saja ruang lingkupnya?
Siyasah Dawliyah adalah kekuasaan kepala negara untuk mengatur negara dalam hal hubungan internasional, mengenai territorial, nasionalitas, ekstradisi tahanan, pengasingan tawanan politik, pengusiran warga negara asing.
2.      Apa  dasar-dasar siyasah dauliyah?
Dasar-dasar siyasah dauliyah antara lain: a.) Kesatuan umat manusia, b.) Keadilan, c.) Al-Musawah (persamaan), d.) Karomah Insaniyah (Kehormatan Manusia) e.) Tasamuh (Toleransi), f.) Kerja Sama Kemanusiaan, g.) Kebebasan, Kemerdekaan/ Al-Huriyah, h.) Perilaku Moral yang baik.
3.      Apa saja  pembagian dari siyasah dauliyah?
a.       Hubungan internasional dalam waktu damai
b.      Hubungan internasional dalam waktu perang

DAFTAR PUSTAKA
H.A Djazuli. 2003.  Fiqh Siyasah. Jakarta: Kencana
Iqbal, Muhammad. 2001. Fiqh Siyasah.  Jakarta: Media Pratama
Pulungan, Suyuthi. 2002. Fiqh Siyasah: Ajaran Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: Grafindo Persada


[1] Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Grafindo Persada, 2002),  41.
[2] Muhammad Iqbal,  Fiqh Siyasah, ( Jakarta: Media Pratama, 2001) hal. 238
[3] H.A Djazuli, Fiqh Siyasah, 146.
[4] Ibid
[5] H.A Djazuli, Fiqh Siyasah. 149-150
[6] H.A Djazuli, Fiqh Siyasah, 156-157

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.