Yusuf Jabung

Tafsir Al Ashr

 


Asbabun Nuzul dan Keutamaan

Syaikh Muhammad Abduh menjelaskan, orang Arab jahiliyah biasa bersantai di waktu Ashar. Mereka bercengkerama dan bercanda, hingga saling menyinggung dan akhirnya terjadi perselisihan dan permusuhan. Mereka pun mengutuk waktu ashar. Maka Allah menurunkan surat ini untuk memberikan peringatan, bukan waktu ashar yang salah tetapi merekalah yang salah. Manusia akan berada dalam kerugian selama tidak memenuhi empat kriteria dalam surat ini.

Surat Al Ashr memiliki beberapa keutamaan. Di antaranya adalah, ia biasa dibaca oleh sahabat di akhir majelis. Ia juga merangkum kunci keselamatan sehingga bisa mewakili isi Al Quran.

Imam Thabrani meriwayatkan dari Ubaidillah bin Hafsh, dia berkata, “Ada dua sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika bertemu mereka tidak akan berpisah melainkan salah satu dari mereka berdua membaca Surat Al Ashr terlebih dahulu, lantas mengucapkan salam.”

Imam Baihaqi juga meriwayatkan yang serupa dari Abu Hudzaifah.

Syaikh Amru Khalid dalam Khawatir Qur’aniyah mengutip perkataan Imam Syafi’i: “Seandainya Al Quran tidak turun kecuali surat Al Ashr ini, maka sudah mencukupi manusia.”

Syaikh Adil Muhammad Khalil dalam Awwal Marrah at-Tadabbar al-Qur’an menyebutkan bahwa Imam Syafi’i mengatakan, “Sekiranya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menurunkan hujjah kepada hamba-Nya selain surat ini, niscaya surat ini telah mencukupi.”

Sedangkan Syaikh Wahbah Az Zuhaili dalam Tafsir Al Munir menyebutkan bahwa Imam Syafi’i mengatakan, “Seandainya manusia memikirkan surat ini, pastilah surat ini cukup bagi mereka.”

Surat Al Ashr ayat 1
وَالْعَصْرِ

Demi masa.

Para ulama sepakat ‘ashr (عصر) artinya adalah masa atau waktu. Namun penafsiran waktu yang dimaksud dalam ayat ini ada beberapa pendapat. Pertama, masa atau waktu secara umum. Kedua, waktu ashar. Ketiga, masa hidupnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Pendapat yang paling kuat adalah waktu secara umum. Allah bersumpah dengan waktu, menunjukkan betapa pentingnya waktu bagi manusia. Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Rezeki yang tidak diperoleh hari ini masih dapat diharapkan lebih dari itu esok hari. Tetapi waktu yang berlalu hari ini tidak mungkin diharapkan kembali esok.”

Allah bersumpah dengan waktu juga menunjukkan kemuliaan waktu. Jika orang-orang Arab jahiliyah meyakini ada waktu sial dan sebagainya, Rasulullah mengingatkan untuk tidak mencela waktu.

لاَ تَسُبُّوا الدَّهْرَ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الدَّهْرُ

Jangan mencela waktu, karena sesungguhnya Allah adalah pemilik waktu. (HR. Muslim)

Sedangkan al ashr yang ditafsirkan waktu ashar, ia juga memiliki korelasi kuat dengan isi surat ini. Di antara kebiasaan orang-orang musyrikin Makkah, mereka menggunakan waktu ashar untuk bersantai sambil menghitung untung rugi perdagangannya. Dalam surat ini, Allah bersumpah dengan al ashr bukan untuk menghitung untung rugi dunia yang sementara tetapi untung rugi di akhirat yang abadi.

Surat Al Ashr ayat 2
إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ

Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,

Kata al insan (الإنسان) berbentuk makrifat menunjuk pada keseluruhan manusia. Baik mukmin maupun kafir. Meskipun demikian, ia hanya mencakup mukallaf (mendapat beban perintah agama). Sedangkan yang tidak mukallaf, misalnya anak kecil yang belum baligh, tidak masuk dalam ayat ini.

Kata lafii (لفي) merupakan gabungan dari huruf lam (ل) yang menyiratkan makna sumpah dan huruf fii (في) yang mengandung makna tempat atau wadah. Dengan demikian, semua manusia berada dalam wadah khusr.

Kata khusr (خسر) memiliki banyak arti. Di antaranya adalah rugi, sesat dan celaka yang semuanya mengarah pada hal negatif yang tidak disukai manusia. Khusr pada ayat ini menggunakan bentuk nakirah sehingga maknanya adalah kerugian yang besar dan beraneka ragam.

Karenanya ketika menafsirkan ayat ini, Syaikh Wahbah Az Zuhaili menuliskan, “Sesungguhnya seluruh manusia itu pastilah berada dalam kerugian, kekurangan dan kehancuran, kecuali orang-orang yang mengumpulkan antara iman kepada Allah dan beramal shalih.”

Surat Al Ashr ayat 3
إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.

Ayat ini mengecualikan insan pada ayat sebelumnya. Bahwa insan yang tidak berada dalam kerugian adalah mereka yang memiliki empat kriteria; iman, amal shalih, saling menasehati tentang kebenaran dan saling menasehati tentang kesabaran.

Sebagian ulama menjelaskan bahwa agama ini terdiri dari pengetahuan dan pengamalan. Keyakinan dan perbuatan. Iman adalah pengetahuan dan keyakinan. Amal shalih adalah pengamalan dan perbuatan. Sedang saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran adalah dakwah yang merupakan bentuk amal shalih agar orang lain juga beriman dan beramal shalih.

Ayat ini menggunakan bentuk jamak, mengisyaratkan pentingnya beramal jamai dan berjamaah. Untuk bisa selamat dari kerugian, manusia harus berjamaah. Beramal jamai bersama orang-orang mukmin dan berdakwah bersama.

Kata tawashau (تواصوا) berasal dari kata washa (وصى) yang artinya menyuruh berbuat baik. Kata al haq (الحق) artinya adalah sesuatu yang mantap dan tidak berubah. Yakni ajaran agama atau kebenaran. Sedangkan sabar (صبر) artinya adalah menahan nafsu demi mencapai sesuatu yang baik atau lebih baik.

Ar Razi mengatakan, “Ayat ini menunjukkan bahwa kebenaran itu berat. Kebenaran akan senantiasa diuji. Oleh karena itu, penyebutan kebenaran disertai dengan penyebutan saling menasehati.”

Penutup Tafsir Surat Al Ashr
Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zilalil Qur’an menyebutkan, dalam surat pendek yang hanya terdiri dari tiga ayat ini tercermin manhaj yang lengkap bagi kehidupa manusia sebagaimana yang dikehendaki Islam. Surat ini juga mengidentifitasi umat Islam dengan hakikat dan aktifitasnya dalam sebuah paparan singkat yang tidak mungkin dapat dilakukan selain Allah.

Manhaj itu adalah iman, amal shalih, saling menasehati untuk mentaati kebenaran dan saling menasehati untuk menetapi kesabaran. Semua orang merugi kecuali orang yang memiliki empat kriteria ini.

Demikian Surat Al Ashr mulai dari terjemahan, asbabun nuzul, hingga tafsir. Semoga kita bisa masuk dalam manhaj surat ini sehingga terhindar dari kerugian besar di akhirat nanti. Wallahu a’lam bish shawab.

Qs. (1) Al Fatihah 1-7

 


nahwu dan sorof dalam surah al fatihah


bismillahirrokhiim
Irob :
بسم       : Jar majrur, الباء huruf jar dan اسم majrur tanda i'robnya kasroh, menjadi khobar dari mubtada yang dibuang . Taqdirannya ابتدائي yang sekaligus jadi muta'alaqnya huruf jer ba.
اللّه        : Lafdzul Jalalah menjadi mudhof ilaih, dijerkan dan tanda i'rob jernya adalah kasroh.
الرحمن  : Na'at awwal dari lafadz Jallalah, mengikuti lafadz اللّه   dalam i'rob jer, dan tanda i'robnya adalah kasroh.
الرحيم   : Na'at tsani dari lafadz Jallalah, mengikuti lafadz اللّه   dalam i'rob jer, dan tanda i'robnya adalah kasroh.

Shorof :
اسم : Asalnya katanya adalah سمو, dibuang huruf ilat yang menjadi lam fiil dan digantkan dengan hamzah washol yang ditempatkan diawal kalimah. Hal ini ditunjukkan ketika lafadz اسم dijamakkan أسماء وأسامي. dan ketika di tashgirkan سمىّ yang asalnya adalah أسماو وأسامو وسموي. Jadi I'lal dalam lafadz adalah dengan i'lal qalb.
اللّه : Asal katanya adalah lafadz  اَلْإِلَاهُ, harkat hamzah dipindahkan pada lam ta'rif dan lam ta'rif selanjutnya disukunkan menjadi  اَلْإْلَاهُ, lalu dibuang alif yang pertama karena bertemu dua huruf yag mati اَلْ لَاهُ, selanjutnya lam yang pertama diidghomkan/dimasukkan pada lam yang kedua karena satu jenis اَللاهُ, selanjutnya tinggal dibuang alifnya karena banyaknya penggunaan اَللهُ.
الرحمن : Sifat yang tercetak dari shighat mubalaghah, wazannya adalah فعلان dari wazan فَعَلَ yaitu رحم يرحم .
الرحيم : Sifat yang tercetak dari shighat mubalaghah atau sifat yang menyerupai isim fa'il, wazannya adalah فعيل dari wazan فَعَلَ yaitu رحم يرحم

Tafsiran al hamdulillah
Tadrib Irob
الحمد : Kedudukannya menjadi Mubtada, dirofa’kan, dan tanda i’robnya dhommah karena isim mufrad.
للّه : Jar Majrur, ta’aluq pada lafadz yang dibuang yaitu khabar mubtada, taqdirannya adalah lafadz ثابت atau واجب.
ربّ : Na’at bagi lafadz Alloh, yang mengikuti dalam irob jer, dan tanda i’robnya adalah kasroh karena isim mufrad munshorif.
العالمين : Mudhaf ilaih, dijerkan, dan tanda irob jernya adalah ya karena merupakan mulhaq jamak mudzakar salim.

Shorof :
الحمد : Masdar sima’i dari fi’il حَمَدَ يَحْمدُ
ربّ : Masdar dari fiil يرب, dan digunakan sebagai sifat.
العالمين : Jamak lafadz العالم, merupakan isim jamak yang tidak memiliki bentuk mufrad. Dibentuk dari lafadz العِلم atau العلامة.

Malikiyaumiddiin
Penjalasan I’rob
مالك
: Na’at (sifat) dari lafadz Alloh pada ayat kedua, di jerkan tanda i’robnya kasroh karena isim mufrod.
يوم
: Mudhof Ilaih, dijerkan tanda i’rob jernya kasroh karena isim mufrod.
الدين
: Mudhof ilaih, dijerkan tanda i’rob jernya kasroh karena isim mufrod.

Shorof :
مالك
: Isim fa’il dari fiil ملك يملك, dan menggunakan makna shighat mubalaghah karena maknanya ‘Kekal KerajaanNya’. Bentuk jamaknya adalah lafadz ملّاك dan مالكون.
يوم
: Isim yang menggunakan makna waktu, yaitu waktu yang dibatasi dari mulai terbitnya matahari sampai terbenamnya, atau waktu yang tidak terbatas. Jamaknya adalah lafadz أيّام dan أياويم.
الدين
: Masdar dari lafadz دان يدين maknanya adalah pembalasan, atau taat.

Iyyaakanas taíin
Penjalasan I’rob
إيّاك
: Dhomir bariz munfashil (kata kerja yang terlihat jelas dan terpisah) mabni fathah, berada pada tempat (mahal) nashob dan kedudukannya menjadi maf’ul bih yang didahulukan dari fi’ilnya.
يّا
: Dhomir bariz munfashil mabni fathah
الكاف
: Huruf Khitab (menunjukkan terhadap orang yang diajak bicara; orang kedua)
نعبد
: Fiil mudhore’ beri’rob rofa’, failnya adalah dhomir yang wajib tersimpan yaitu lafadz نحن.
الواو
: wawu athof
إياك
: Sama seperti diatas
نستعين
: Sama seperti diatas
إياك نعبد
: Jumlah Fi’liyah yang tidak punya mahal i’rob, karena jumlah isti’nafiyah (jumlah permulaan kalam)
إياك نستعين
: Jumlah Fi’liyah yang tidak punya mahal i’rob, karena jumlah tersebut di’athofkan pada jumlah yang tidak punya mahal i’rob yaitu إياك نعبد

Shorof :
نستعين
: Lafadz tersebut di I’lal, asalnya adalah نَسْتَعْوِنُ, Caranya adalah dengan memindahkan kasrohnya wawu pada mim karena huruf soheh lebih kuat untuk berharkat daripada huruf ilat نَسْتَعِوْنُ, Selanjutnya wawu diganti menjadi ya, karena wawu mati setelah huruf yang berharkat kasroh.

Ihdinashirotholmus taqim
Penjalasan I’rob
اهد
: Fiil amar du’a (bermakna meminta), mabni membuang hurf ilat (ya). Failnya adalah dhomir mustatir wujub (dhomir yang wajib disimpan) yaitu lafadz أنت
نا
Domir Muttashil, hukumnya mabni sukun, berada pada mahal nashob dan menjadi maf’ul bih
الصراط
: Maf’ul bih yang kedua, dinashobkan dengan tanda i’robnya adalah fathah
المستقيم
: Na’at dari lafadz   الصراط, dinashobkan karena mengikuti i’rob lafadz الصراط, tanda i’robnya adalah fathah.

Shorof :
اهد
: Asalnya adalah اهدي  , cara i’lalnya adalah dengan dibuang huruf ilatnya (ya) karena mabninya fiil amar yang mu’tal akhir.  
الصراط
: Lafadz ini bisa dengan Sin السراط atau Shad الصراط
المستقيم
Isim fail dari lafadz استقام, Asalnya adalah lafadz مُسْتَقْوِمٌ, Caranya adalah dengan memindahkan kasrohnya wawu pada Qaf karena huruf soheh lebih kuat untuk berharkat daripada huruf ilat مُسْتَقِوْمٌ, Selanjutnya wawu diganti menjadi ya, karena wawu mati setelah huruf yang berharkat kasroh

Shiroo tholladzinaán ámta álaihim
Penjalasan I’rob

صراط
Menjadi Badal dari lafadz صراط yang awal, pada ayat 6, dan mengikutinya dalam i’rob nashob, dengan tanda i’robnya kasroh sebab isim mufrod
الذين
Isim maushul mabni fathah, berada pada mahal Jer (Tempat I’rob Jer) menjadi mudhof ilaih.
أنعمت
Fi’il madhi mabni sukun (Hukumnya tetap mabni fathah), karena bertemu dengan domir mutaharrik marfu’.
التاء
Dhomir muttashil mahal rofa’, kedudukannya menjadi fail
عليهم

على
Huruf jar
الهاء
domir muttashil mabni kasroh dan berada pada mahal jer, karena dijerkan denga huruf jer علي
الميم
Huruf yang menunjukkan jamak mudzakar  (laki-laki banyak).
غير
Badal dari isim maushul (الذين), mengikuti dalam i’rob jer.
المغضوب
Mudhof ilaih, di jerkan dengan tandanya kasroh karena isim mufrod
الواو
Wawu athof
لا
Zaidah, untuk memperkuat nafi (lita’kid nafyi)
الضالّين
Ma’thuf pada lafadz, dijerkan dengan tanda i’rob jernya adalah ya karena jamak mudzakar salim.



Shorof :

المغضوب
Isim maf’ul dari lafadz غضب
الضالّين
Jamak mudzakar dari lafadz الضال, isim fa’il dari fiil ضلّ يضلّ.
غير
Isim mufrad yang bentuk lafadznya mudzakar (laki-laki), terkadang menjadi na’at dan terkadang menjadi adatul istisna (Lafadz yang digunakan untuk pengecualian). Jika lafadz غير ingin dijadikan muannats maka boleh menambahkan ta tanis pada fiil yang beramal padanya. Contoh : قامت غير هند
Diberdayakan oleh Blogger.