Yusuf Jabung
Home » » Perasaan Yang Terbalik

Perasaan Yang Terbalik

Ini adalah sepenggal kisahku sepuluh tahun silam. Ketika itu saya aktif sebagai pembina Risma di masjid M desa J.
 
Pada suatu maghrib, seorang lelaki remaja menghampiriku. “Kak, boleh tidak saya minta tolong?” katanya.
“Boleh. Apa yang bisa aku bantu ?” jawabku. “Minggu depan saya akan ujian praktek Sholat dan wirid setelah sholat. Tapi saya tidak bisa wirid setelah sholatnya. Bisa tidak mengajariku bacaan setelah sholat ?” lanjutnya. “O, ya. Tentu.” Jawabku.

Sejak itu remaja itu akrab denganku. Dia belajar sholat, wirid dan masalah-masalah agama lainnya seperti aqidah, fiqih dan akhlak.  Perubahannya drastis. Dari tidak sholat menjadi rajin sholat bahkan sholat malam ia lakukan. Ia juga rajin puasa sunnah dan lainnya. Namun, ujian menimpanya. Keluarganya yang tak paham agama sama sekali justru mempermasalahkan perubahan kepribadiannya.  Menurut keluarganya, dia rajin sholat, rajin ngaji, rajin puasa itu dalam rangka menguasai kebathinan atau “ngilmu”. Mereka mulai tidak senang dengan anaknya tersebut.
 
Pada suatu hari, adik remaja tersebut pulang ke rumah dengan membawa beberapa buah mangga di tangannya. Sang kakak pun bertanya,  “ Dek, buah mangga itu kamu dapat dari mana?” “Mengambil dari pohon di sebelah sana, kak ?” jawab adiknya. “Kamu minta dahulu nggak?” interogasi kakaknya. “Nggak kak !!” tegas adiknya. Maka remaja itupun menasehati adiknya agar jangan mencuri lagi.
 
Namun, lain tanggapan keluarga besarnya. Semuanya mendukung adiknya. Dengan alasan buah mangga yang dicuri itu tak seberapa nilainya. Mereka justru menyerang balik remaja sholeh tersebut. Mereka memojokkannya dengan berbagai tuduhan. Mereka menuduh bahwa remaja tersebut sudah tidak waras. Mereka menuduh anaknya yang rajin sholat, ngaji, puasa dan sebagainya itu sudah hampir gila gara-gara “ngilmu” (menurut mereka).  Akhirnya mereka mendesak remaja tersebut agar menunjukkan tempat dia belajar.  “Siapa gurumu ?!!” desak mereka. Karena didesak terus menerus, akhirnya remaja itu menyebutkan namaku.  “Saya belajar dengan kak Yusuf.” Jawabnya. Dia menjawab demikian dengan harapan bahwa keluarganya akan mengerti dan percaya kalau dia tidak “ngilmu” atau tidak gila.
 
Namun, harapannya bagai panggang yang jauh dari api. Keluarganya justru mengikatnya. Diapun terpaksa melawan karena diperlakukan seperti itu.  Akhirnya, sejak kejadian itu beredarlah isu, bahwa saya mengajarkan aliran sesat, mengajarkan kebatinan dan mengajarkan para remaja melawan orang tua.  Saya pun memberanikan diri mendatangi keluarga tersebut. Saya coba untuk mengklarifikasi. Namun mereka tidak mau berdiskusi dengan saya. Mereka juga menolak saya untuk bertemu dengan remaja itu. Akhirnya, pertemuan itu saya tutup dengan berkata, “Ya sudah kalau keputusan bapak seperti itu. Sekarang saya ingin mengambil buku saya yang dipinjam  anak bapak.” Betapa terkejutnya saya mendengar jawaban keluarga tersebut, ”Buku itu sudah di bakar pak dukun untuk mengobati anak kami.”

Ya. Sebuah buku agenda Muslim yang belum saya pakai dan kisah para nabi telah dibakar oleh seorang dukun. Lalu abunya diaduk dalam air dan diminumkan ke remaja itu. Sejak itu remaja itu dilarang bertemu dengan saya. Sejak itu pun saya tak mendengar kabar remaja itu. Tapi yang pastinya isu saya mengajarkan aliran sesat beredar pesat di tiga desa tersebut, desa J, NB dan NS. Disebarkan oleh ibu-ibu pengajian setelah mereka yasinan berjamah dan disebarkan oleh orang-orang dengki.
 
Bahkan pada suatu malam, ayahku memanggilku. Dia bertanya padaku tentang pengaduan seseorang padanya. Ya, mereka mengadu ke ayahku, bahwa aku mengajarkan ajaran yang tidak benar. Akhirnya sayapun menjawab dengan argumen, “Ayah, ayah ‘kan bisa menilai antara saya dengan anak orang yang mengadu kepada ayah. Saya menegakkan sholat, membaca al quran dan membina anak-anak risma. Sementara anak mereka mencuri dan sebagainya. Menurut ayah, yang benar yang mana?” Ayahku terdiam, dia kemudian berkata,” Saya khawatir jika mereka bertindak kasar padamu”.  “Jika memang harus demikian saya siap. Saya yakin jika mereka yang membunuh saya, Allah akan mengampuni dosa-dosa saya. Dan jika sampai saya yang membunuh mereka duluan, saya yakin, saya berada di jalan yang benar.”Akhirnya ayahku terdiam. “Ya sudah. Jika memang itu keputusanmu.”
 
Beberapa tahun kemudian, akupun hijrah meninggalkan daerah itu. Dan sampai kini tak ada niat untuk tinggal di kampung itu lagi, meski tak bisa kupungkiri jika aku sangat merindukan kampung kelahiranku.
 
Kini sepuluh tahun sudah berlalu dari peristiwa itu. Para “pemain” sudah jauh lebih ramai ketimbang sepuluh tahun silam. Anak ABG pun sudah tahu debu asyik yang dihisab sambil nyantai menikmati musik yang bassnya seakan memekakkan gendang telinga.
 
Dan kini aku hanya tersenyum  ketika mendengar dari media massa maupun dunia maya tentang satu persatu “pemuda-pemuda terbaik” desa J, NB dan NS berjatuhan di medan “perjuangan” (versi mereka). Dan saya salut, tak ada teriakan sesat dari masyarakat kepada mereka seperti yang saya alami sepuluh tahun silam. Bahkan para pemain itu seakan-akan “selebritis” kampung. Dipuja oleh para anak gadis dan seakan menjadi “calon menantu” idaman. Ah, mungkin memang benar kata seorang ulama, ketika mereka tak memahami Iman dan Islam dengan  benar, maka perasaan mereka menjadi terbalik. Yang benar mereka rasa salah, yang baik mereka rasa buruk. Begitu pula sebaliknya.

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.