Yusuf Jabung
Home » » Derita Minoritas Muslim di Dunia

Derita Minoritas Muslim di Dunia

Kaum Muslim di negeri yang mayoritas penduduknya non-Muslim berteriak. Mereka menerima perlakuan diskriminatif yang akut. Tidak hanya ditekan secara politik dan ekonomi, mereka mengalami penindasan secara fisik, bahkan menghadapi genosida secara sistematis.

Anehnya, teriakan mereka tidak mendapat perhatian yang semestinya dari dunia. Penindasan dan pembantaian yang mereka alami seolah menjadi angin lalu. Negeri-negeri Muslim pun tak berbuat apa-apa untuk menyelamatkan mereka. Kaum minoritas Muslim ini harus berjuang sendiri untuk melangsungkan hidupnya di bawah kungkungan tirani mayoritas non-Muslim.

Inilah yang terjadi di beberapa negara di kawasan Asia. Nasib buruk dialami kaum Muslim Rohingya di Myanmar, Muslim Pattani di Thailand, Muslim Moro di Filipina, Muslim Cham di Kamboja, dan Muslim Uighur di Xinjiang Cina.

Muslim  Rohingya
Nasib tragis dialami minoritas Rohingya yang tinggal di utara Arakan, tepatnya di negara bagian Rakhine, Myanmar. Sebuah catatan menunjukkan, lebih dari 6.000 kaum Muslim meninggal dunia akibat kekejaman mayoritas Budha yang didukung junta militer Myanmar.

Akibat kekejaman itu ribuan Muslim Rohingya terpaksa mengungsi ke negara yang terdekat, yakni Bangladesh dan Malaysia, bahkan sampai di Aceh. Mereka yang tidak bisa meninggalkan negara itu harus menerima perlakuan kejam tentara.

Secara statistik, Muslim Rohingya di Myanmar tercatat sekitar 4,0 persen atau sekitar 1,7 juta jiwa dari total jumlah penduduk negara tersebut yang mencapai 42,7 juta jiwa. Menurut catatan pada dokumen Images Asia: Report On The Situation For Muslims In Myanmar pada Mei tahun 1997, jumlah ini menurun drastis. Sebelumnya jumlah kaum Muslim di sana sekitar 7 juta jiwa. Mereka kebanyakan datang dari India pada masa kolonial Inggris di Myanmar. Sepeninggal Inggris, gerakan antikolonialisasi di Myanmar berusaha menyingkirkan orang-orang dari etnis India itu, termasuk mereka yang memeluk agama Islam.

Tindakan diskriminatif itu terus berlangsung secara sistematis. Pada tahun 1978 dan 1991, pihak militer Myanmar meluncurkan operasi khusus untuk melenyapkan pimpinan umat Islam di Arakan sehingga memicu eksodus besar-besaran kaum Rohingya ke Bangladesh.

Junta militer Myanmar yang dikenal sebagai State Law and Order Restoration Council (SLORC) selalu berusaha untuk memicu adanya konflik rasial dan agama. Tujuannya untuk memecah-belah populasi sehingga rezim tersebut tetap bisa menguasai ranah politik dan ekonomi. Pada 1988, SLORC memprovokasi terjadinya pergolakan anti-Muslim di Taunggyi dan Prome. Lalu pada Mei 1996, karya tulis bernada anti-Muslim yang diyakini ditulis oleh SLORC tersebar di empat kota di negara bagian Shan. Ini mengakibatkan terjadinya kekerasan terhadap kaum Muslim.

Pada September 1996, SLORC menghancurkan masjid berusia 600 tahun di negara bagian Arakan dan menggunakan reruntuhannnya untuk mengaspal jalan yang menghubungkan markas militer baru daerah tersebut. Sepanjang Februari hingga Maret 1997, SLORC juga memprovokasi terjadinya gerakan anti-Muslim di negara bagian Karen.

Sejumlah masjid dihancurkan, al-Quran dirobek dan dibakar. Umat Islam di negara bagian itu terpaksa harus mengungsi. Berdasarkan catatan Myanmar Digest, pada 2005, muncul perintah bahwa anak-anak Muslim yang lahir di Sittwe, negara bagian Rakhine (Arakan), tidak boleh mendapatkan akta kelahiran.

Hasilnya, hingga saat ini banyak anak-anak yang tidak mempunyai akta lahir. Selain itu, National Registration Cards (NRC) atau kartu penduduk di negara Myanmar sudah tidak diberikan lagi kepada mereka yang memeluk agama Islam. Mereka yang sangat membutuhkan NRC harus rela mencantumkan agama Budha pada kolom agama mereka.

Sejak 1982, Undang-undang Kewarganegaraan Myanmar tak mengakui Muslim Rohingya sebagai warga negara Myanmar. Pemerintah menganggap mereka sebagai imigran ilegal dari Bangladesh atau keturunannya. Ini pula yang memicu Muslim Rohingya meninggalkan negara itu.

Kalaupun tak eksodus, mereka seperti terpenjara di tanah kelahiran mereka. Mereka tidak bisa bebas bepergian ke mana pun, sekalipun ke kota tetangga di negara tersebut. Junta militer selalu meminta surat resmi.

Walhasil, akibat kekejian junta militer, kini lebih dari 200 ribu orang tinggal di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh. Mereka hidup seadanya, sekadar menghindari kekejian di negaranya. Ini masih lumayan, soalnya nasib lebih buruk dialami ratusan orang lain yang terdampar di Thailand. Negeri Gajah Putih, tetangga paling dekat dengan Myanmar itu, menolak untuk menampung mereka.

Muslim Xinjiang, Cina
Nasib tragis terus dialami oleh Muslim Xinjiang, Cina. Ada sekitar 8,5 juta jiwa Muslim di wilayah ini dengan bangunan masjid sebanyak 23 ribu buah. Penduduk Cina sendiri mencapai 1,3 miliar jiwa. Mereka terus-menerus didera penderitaan luar biasa dan dicap sebagai teroris.

Xinjiang adalah sebuah daerah otonomi—bukan provinsi—di Cina. Nama lengkapnya adalah Daerah Otonomi Uighur Xinjiang. Wilayah ini berbatasan dengan Daerah Otonomi Tibet di sebelah selatan dan Provinsi Qinghai serta Gansu di tenggara. Xinjiang juga berbatasan dengan Mongolia di sebelah timur, Rusia di utara, serta Kazakstan, Kirgistan, Tajikistan, Afganistan dan Kashmir di barat.

Penduduk asli Xinjiang berasal dari ras-ras Turki yang beragama Islam, terutama suku Uighur (45,21 persen) dan suku Kazakh (6,74 persen). Selain itu, di Xinjiang juga terdapat suku Han yang merupakan suku mayoritas di Cina.

Secara statistik, sebenarnya kaum Muslim Uighur mayoritas di Xinjiang, tetapi hari demi hari mereka kian terpinggirkan. Istilah ‘daerah otonomi’ yang ditetapkan Pemerintah Cina cuma sekadar nama. Agama dan budaya mereka ditekan habis-habisan oleh Pemerintah Cina. Dalam bidang ekonomi, orang-orang dari suku Han-lah yang berkuasa, termasuk menguasai ladang-ladang minyak dan jalur-jalur perdagangan.

Selain kaya akan mineral, minyak bumi, dan gas—cadangan terbesar di Cina, Xinjiang sangat penting secara geopolitik. Maka dari itu, demi mengontrol Xinjiang, berbagai langkah dilakukan Pemerintah Cina, termasuk membelenggu hak warga Muslim untuk menjalankan ritual dan ajaran agamanya. Sekadar contoh, keberadaan sekolah Islam, masjid dan imam dikontrol secara ketat.

Dalam kurun waktu 1995 hingga 1999, pemerintah telah meruntuhkan 70 tempat ibadah serta mencabut surat izin 44 imam. Pemerintah juga menerapkan larangan ibadah perorangan di tempat-tempat milik negara. Larangan ini mencakup larangan shalat dan berpuasa pada bulan Ramadhan di kantor atau sekolah milik negara.

Tekanan yang luar biasa baik dari negara dan suku Han inilah yang memicu mereka untuk memilih memisahkan diri dari Cina. Rencana itu kian membuat pemerintah Cina mencengkeram Xinjiang dan menindas kaum Muslim di sana. Korban-korban berjatuhan dalam beberapa bulan terakhir.

Muslim Pattani, Thailand
Kaum Muslim di Thailand bagian selatan merasa tak kuat lagi berada di bawah kekuasaan Raja Thailand. Kekejaman dan penderitaan yang mereka alami selama di bawah pemerintahan Budha menjadikan mereka berniat memisahkan diri. Berbagai upaya dilakukan, tetapi kandas karena pemerintah Thailand menghadapinya dengan moncong senapan yang jauh lebih kuat dan canggih.

Muslim di Thailand berada di tiga provinsi yakni Yala, Pattani, dan Narathiwat. Jumlah mereka tidak banyak, hanya sekitar 1,8 juta jiwa. Ini jumlah yang kecil dibandingkan penduduk Thailand yang berjumlah lebih dari 64 juta jiwa.

Penderitaan yang mereka alami bukan suatu yang baru. Sejak awal kaum Muslim Pattani ini harus menerima ‘Siamisasi’ di segala bidang. Ini yang sulit diterima oleh mereka karena budaya yang sangat berbeda. Siamisasi berarti ‘Budhaisasi’.

Memang, Muslim Pattani sangat berbeda dengan penduduk Thailand pada umumnya. Pada mulanya Pattani adalah sebuah kerajaan Islam. Mengutip buku Thailand 2007 yang diterbitkan pemerintah setempat, Provinsi Pattani bersama dengan Provinsi Songkhla, Yala dan Narathiwat, keempatnya dijuluki sebagai Pattani Darussalam yang berarti gabungan dari empat provinsi mayoritas Muslim di selatan Thailand.

Thailand sendiri menguasai negeri Muslim itu pada 1875. Ketika Inggris menguasai Semenanjung Malaka, terjadilah pembagian kekuasaan. Wilayah Pattani tetap dikuasai Thailand, sedangkan Perlis dan daerah yang menjadi negara Malaysia sekarang dikuasai Inggris.

Kerajaan Thailand dalam perkembangannya melakukan tindakan diskriminasi terhadap mereka. Di antaranya berupa ketidakadilan dalam segala bidang. Secara ekonomi, perkembangan Pattani jauh tertinggal dibandingkan dengan wilayah yang mayoritas Budha.

Bahkan secara eksplisit, masyarakat Pattani dibelenggu kebebasannya, khususnya dengan pemberlakuan undang-undang yang silih berganti mulai dari darurat militer, darurat sipil hingga UU terorisme.

Hingga saat ini masyarakat Muslim Pattani hidup dalam ketakutan, mirip suasana Aceh pada masa Daerah Operasi Militer/DOM. Kehidupan mereka diawasi secara ketat oleh militer Thailand. Kekejaman tentara Thailand itu tercatat dalam peristiwa pembunuhan massal di Masjid Kerisek di Pattani dan Tak Bai di wilayah Menara (2004) dan di Masjid Al-Furqan di wilayah Menara (2009). Hampir 100 orang mati di tangan tentara saat itu. Itu belum termasuk pemerkosaan yang dialami para gadis Muslimah dan perusakan generasi muda Muslim dengan narkoba.

Kondisi inilah yang membuat gerakan-gerakan Pembebasan Pattani Darusalam bangkit untuk melakukan perlawanan hingga detik ini.

Muslim Moro, Filipina
Seperti di negara yang mayoritas penduduknya non-Muslim lainnya, diskriminasi terhadap minoritas Muslim sangat kental oleh negaranya, tak terkecuali kaum Muslim Moro di Filipina. Di negara yang dulunya pernah berpenduduk mayoritas Muslim itu, jumlah kaum Muslim tinggal 5-7 juta jiwa atau 8,5 persen dari penduduk Filipina sebanyak 66 juta jiwa.

Dibandingkan dengan saudara-saudara mereka yang non-Muslim, kaum Muslim yang banyak berdiam di Pulau Mindanao ini kondisinya jauh tertinggal. Ini karena pemerintah Filipina menganggap mereka sebagai pemberontak. Padahal wilayah itu adalah daerah yang paling subur dan kaya dengan sumber alam di Filipina. Namun fakta menunjukkan, daerah ini menjadi wilayah paling miskin di negara itu dan tidak ada pembangunan, setelah konflik yang dimulai sejak empat dekade lalu. Pemerintah Filipina melarang kaum Muslim memerintah di wilayahnya sendiri dan mengontrol kekayaan mereka.

Tak aneh jika mereka merasa masih dijajah. Karena itu, tak lama setelah kemerdekaan, kaum Muslim di sana melakukan perlawanan terhadap pemerintah. Pemberontakan itu memuncak pada tahun 1970-an. Perlawanan mereka sebenarnya tak lepas dari sejarah panjang. Sejak zaman penjajahan Spanyol, kaum Muslim berusaha mengusir penjajah yang kafir tersebut. Ini terutama dilakukan oleh para sultan yang ada di selatan Filipina. Sultan-sultan itu tidak bisa ditundukkan oleh Spanyol. Namun, usaha itu menemui kegagalan. Justru Filipina sebelum dijajah Spanyol masih mayoritas Muslim, berubah menjadi Katolik, kecuali di bagian selatan.

Tindakan kekejaman dimulai dengan berkuasanya Spanyol. Itu terus terjadi ketika Amerika menjajah Filipina. Lagi-lagi Muslim jadi sasaran. Dengan tipudaya, Amerika mencerai-beraikan kaum Muslim Moro dan menindasnya. Begitu pula ketika Filipina merdeka 1946, pemerintah yang terbentuk pun melanjutkan kebijakan yang sama, yakni menindas kaum Muslim.

Muslim Kamboja
Di Kamboja, nasib kaum Muslim sempat mengalami penderitaan yang luar biasa di bawah rezim Khmer Merah. Kaum Muslim yang jumlahnya sekitar enam persen dari penduduk Kamboja yang mayoritas Budha harus hidup dalam tirai besi rezim komunis. Rezim militer itu tercatat melakukan penganiayaan; pembunuhan, penyiksaan, pengusiran; termasuk juga penghancuran masjid-masjid dan sekolahan. Kaum Muslim dilarang mengadakan kegiatan-kegiatan keagamaan.

Selama Khmer Merah berkuasa, lebih dari 500 ribu Muslim dibunuh. Juga ada pembakaran beberapa masjid, madrasah dan mushaf serta pelarangan menggunakan bahasa Campa—bahasa  kaum Muslim di Kamboja.

Meski Khmer Merah telah jatuh, kondisi kaum Muslim di Kamboja belum banyak berubah. Mereka tergolong miskin dan mendiami sepanjang Sungai Mekong. Hanya saja hantu penindasan mulai hilang.

Dunia Bisu
Kendati banyak fakta pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di berbagai negara yang mayoritas non Muslim itu, dunia tak banyak berbuat. Mereka hanya mengeluarkan kecaman dan kutukan. Diskusi dan pertemuan hanya menghasilkan keputusan yang tidak bisa menghentikan tindak kekejian secara langsung.

Dalam kasus Rohingya, misalnya.  Sekretaris Jenderal ASEAN Surin Pitsuwan menyatakan keprihatinan mendalam atas kekerasan yang terjadi terhadap umat Muslim Rohingya di Myanmar. Hal yang sama dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Sekadar basa-basi. Nyatanya banyak penderitaan yang dialami kaum Muslim dari mulai Pattani, Moro, sampai Rohingya, Indonesia tak terlihat perannya untuk menyelamatkan saudara-saudara mereka.

Setali tiga uang sikap Organisasi Konferensi Islam (OKI). Seperti yang sudah-sudah, OKI selalu mengutuk kekejaman terhadap kaum Muslim tanpa bisa berbuat banyak. Berbagai pertemuan OKI digelar dengan hasil nol besar. Mereka sekadar menggelar ritual pertemuan untuk menunjukkan eksistensi organisasi.

Sementara itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sibuk berencana untuk mengeluarkan resolusi dalam berbagai sidangnya. Tak pernah ada cerita PBB mengirimkan pasukan untuk mencegah kekejaman yang dialami kaum Muslim, kecuali ada kepentingan politik di belakangnya. Sebaliknya, PBB justru ada di balik pembantaian kaum Muslim seperti yang  terjadi di Bosnia Herzegovina.

Sikap PBB ini untuk kesekian kalinya membuktikan adanya standar ganda Barat terhadap Dunia Islam. Mereka seolah ‘merestui’ pemusnahan kaum Muslim dari muka bumi. Sebaliknya, begitu ada pelanggaran terhadap kaum non-Muslim—khususnya Kristen/Katolik—organisasi itu sangat sigap.

Maka dari itu, tak pernah ada cerita soal pasukan perdamaian yang melindungi warga Moro, warga Pattani, warga Xinjiang, warga Palestina dan warga Muslim lainnya di seluruh dunia. Inilah fakta kaum Muslim, tertindas di negerinya dan juga ditindas secara tidak langsung oleh konspirasi global dunia. [Humaidi]
sumber: majalah al-wa’ie

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.